Selasa, 05 Januari 2016

Makalah Filsafat Koherensi


                                                                                                     
 BAB I
PENDAHULUAN
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu, kegiatan berfikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atu kriteria kebenaranya. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan tentang alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran bagi setiap jenis dan bidang pengetahuan.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Problem kebenaran inilah yang memicu tumbuh dan berkembangnya epistimelogi. Telaah epistimelogi terhadap “kebenaran” membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran epistimelogi, kebenaran ontologis dan kebenaran semantis.[1]
Kebenaran epistimelogis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme, idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme, post-strukturalisme dan lain-lain.
Hal tersebut tidak lain merupakan upaya untuk menemukan “kebenaran”.
Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya (problem ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari “Apa itu kebenaran?” yaitu “Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan problem epistemologi. Selanjutnya, setelah kita mengetahui kebenaran dan cara untuk mendapatkannya, muncul pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pemikiran selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan pada tataran praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya apakah ilmu pengetahuan yang didapat itu bisa diterapkan untuk kemaslahatan umat atau justru sebaliknya, terutama kaitannya dengan moralitas.
Singkatnya, wilayah ontologi bertanya tentang “apa” wilayah epistemologi bertanya tentang “bagaimana” sedangkan, wilayah aksiologi bertanya tentang “untuk apa”.
Tiga problem filosofis inilah ontologi, epistemologi dan aksiologi  yang hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing aliran filsafat memiliki sudut pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga hal tersebut.
 BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom. Dengan kata lain, pembahasan ontologi biasanya diarahkan pada pendeskripsian tentang sifat dasar dari wujud, sebagai kategori paling umum yang meliputi bukan hanya wujud Tuhan, tetapi juga pembagian wujud.
Ontologi  menurut Dardiri adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan dapat dikatakan ada. [2]. Sedangkan pengertian Ontologi  menurut Jalaluddin dan Idi abdullah adalah teori dari cabang filsafat yang membahas realitas. Realitas adalah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran[3].
  Persoalan tentang ontologi ini menjadi pembahasan utama di bidang filsafat, baik filsafaf kuno maupun modern. Ontologi adalah cabang dari filsafat yang membahas realita. Realita adalah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran. Bedanya, realita dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya realita yang ada ini; apakah realita yang tampak ini suatu realitas materi saja; adakah sesuatu di ballik realita itu, apakah realita ini terdiri dari satu unsur (monoisme), dua unsur (dualisme) atau banyak (Pluralisme). Sementara Epistemologi adalah cabang filasafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas peryataan mengenai pengetahuan yang dimiliki[4].
Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan peneyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia[5]. Epistimelogi membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya. Kita bisa mengatakan bahwa seseorang telah sukses dengan apa yang telah mereka pelajari apabila mereka dapat menyatakan kembali apa yang telah mereka peroleh di masa lalu. Epistemologi merupakan tahapan berikutnya setelah pembahasan ontologi dalam filsafat[6].
Oleh sebab itu yang perlu dibahas berkaitan dengan masalah ini adalah tentang teori pengetahuan dan metode ilmiah serta tema-tema yang berkaitan dengan masalah epistemologi. Berbicara tentang asal-usul pengetahuan maka ilmu pengetahuan ada yang berasal dari manusia dan dari luar manusia. Pengetahuan yang berasal dari manusia meliputi pengetahuan indera, ilmu (akal) dan filsafat. Sedangkan pengetahuan yang berasal dari luar manusia (berasal dari Tuhan) adalah wahyu. Pembahasan epistemologi meliputi sumber-sumber atau teori pengetahuan, kebenaran pengetahuan, batasan dan kemungkinan pengetahuan, serta klasifikasi ilmu pengetahuan.  
Istilah pengetahuan sesuatu berarti mengetahui sesuatu. Mengapa sesuatu itu dapat dilakukan dengan perantaraan alat dria (pengalaman) dan dapat pula dicapai dengan perantaraan akal fikiran akibatnya telah menimbulkan aliran empirisme dan rationalisme. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan objek pengetahuan atau dengan apa yang dijadikan masalah. Sering diartikan bahwa kebenaran itu ialah pengetahuan yang benar. Kebenaran dapat dirumuskan sebagai persesuaian antara pengetahuan kita dengan objek pengetahuan[7].  Artinya apa yang kita ketahui itu ternyata benar atau cocok dengan objeknya? Ini tergantung pada pendapat kita bentuk kepada setiap pengetahuan yang kita peroleh itu selalu berbentuk pendapat yaitu rangkaian-rangkaian pengetahuan yang mempunyai arti tertentu.
Sering kali kita berpendapat salah tentang sesuatu, karena itu bukan tidak mungkin kita memperoleh pengetahuan yang tidak sesuai dengan objek. Seringkali sesuatu yang kita pandang nyata lalu kita berpendapat sebagai sesuatu yang benar. Lalu apa yang dimaksud dengan reality? Sebenarnya kalau kita berpikir kritis dan radikal, maka arti reality itu tidaklah seperti yang kita maksudkan sehari-hari, tetapi tergantung cara pandangan kita terhadap sesuatu.  Jadi apa sesungguhnya yang dikatakan kenyataan dan apa pula yang dimaksud dengan kebenaran? Apakah  pengetahuan itu mengandung kebenaran?
Sesuatu pengetahuan haruslah mengandung kebenaran. Sehubungan dengan kebenaran itu ada tiga macam teori yaitu:
1.      Teori Kesesuaian (Korespondensi).
2.      Teori Ketetapan (Koherensi atau konsistensi), dan
3.      Teori Pragmatika  [8].

A.    Teori Kesesuaian (Corespondence Theory)
Menurut teori ini pengetahuan kita adalah benar apabila sesuai dengan kenyataan. Pendukung teori ini berpendapat bahwa dunia diluar diri kita (objek) tidak tergantung kepada kita (subjek).  [9] Karena itu apabila kesan-kesan kita tentang sesuatu sesuai dengan kenyataan yang ada diluar diri kita, maka kita akan memperoleh kebenaran tentang sesuatu itu. Sesuai dengan pendapat ini berarti bahwa kebenaran itu bersifat abadi tidak berubah dan tidak temporal (tidak tergantung pada waktu).
Teori korespondensi biasanya dianut oleh para pengikut realisme, dan mereka berpegang pada pendirian fakta-fakta. Dan teori ini yang diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut paham ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita objektif. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri.
Kebenaran teori korespondensi berdasarkan pengalaman inderawi sehingga ada atau tidak adanya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan.
B.     Teori Koherensi (consistency theory)
Menurut teori ini, manusia tidak pasti akan mencapai persesuaian antara pengetahuannya dengan objek atau kenyataan[10]. Kita sering kali mempunyai pendapat atau kesan ataupun reaksi-reaksi yang berbeda terhadap sesuatu itu. Jika bersifat temporal. Demikian pula seringkali pendapat atau kesan-kesan kita tentang sesuatu kenyataan tidak sesuai dengan kesan-kesan orang lain (bersifat subjektif). Belum tentu apakah pendapat kita lebih benar atau pendapat orang lain itu yang lebih benar.  Karena itu menurut teori ini haruslah  dicari kebenarannya itu dengan menggunakan kriteria yaitu ada tidaknya ketetapan (consistency) antara pendapat-pendapat atau kesan-kesan kita tentang suatu kenyataan itu.
Jadi pendapat-pendapat itu haruslah reliable dan objective. Artinya kalau kita lakukan sesuatu eksperimen berkali-kali maka hasilnya akan tetap sama (konsisten). Dan kalau dilakukan eksperimen itu oleh beberapa orang dalam kondisi yang sama pula dan objektif. Jadi ada konsistensi mengenai pendapat tentang sesuatu.
Teori pertama dan kedua tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi. Teori pertama menitik beratkan kepada arti kebenaran itu, sedangkan teori kedua menyatakan mengenai pengujian terhadap kebenaran yang transenden, artinya kebenaran itu terletak di luar jiwa kita, yang melampaui batas-batas jiwa kita. Segala sesuatu tersusun menurut susunan yang berdiri   sendiri dan terletak di luar diri kita. Terlepas dari subjek (manusia) yang mengetahui. Jadi kebenaran itu dijangkau secara langsung (menghadapi kenyataan atau subjek). Pendukung teori ini adalah kaum empiris atau realis. Immanen, yaitu kebenaran yang terjadi dalam jiwa kita. Jadi kebenaran terhadap sesuatu kenyataan (objek) itu dijangkau secara tidak langsung. Pendukung teori ini adalah kaum rationalis atau idealis.[11]
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy, teori koherensi dijelaskan “….suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan, “si polan adalah manusia dan si polan pasti mati” adalah benar, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
C.    Teori Kebenaran Pragmatis (Pragmatic Theory).
Teori ini didukung oleh kaum pragmatist atau instrumentalist, atau disebut juga eksperimentalist, seperti yang dikembangkan oleh William James dan Jhon Dewey di Amerika.[12] Menurut teori ini kebenaran itu terletak pada hasil (akibat) yang dicapai dari praktek. Jadi benar tidaknya sesuatu bergantung pada akibat dalam praktek. Apabila sesuatu hasil dalam praktek ternyata benar, maka pendapat itu adalah benar.
Namun kebenaran itu tidaklah sempurna, tetapi selalu berkembang atau dalam pembentukan. Kecaman terhadap teori ini sering dikemukakan adalah:
1.      Mengacaukan antara kebenaran dengan nilai (values).
2.      terlalu melihat kepada akibat[13]
Sesuatu pendapat dikatakan benar apabila akibatnya hasilnya benar. Seharusnya karena sesuatu pendapat yang benar maka akan memberi akibat pula.  Perlu ditegaskan bahwa dalam filsafat tidak ada satu jawaban yang benar terhadap suatu masalah, melainkan sekurang-kurangnya ada dua jawaban yang benar.
Teori pragmatisme beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika secara fungsional ia memberikan manfaat. Jadi ukurannya adalah hasil yang didapatkannya. Jika hasilnya menguntungkan maka ia baik dan benar dan sebaliknya jika hasilnya merugikan maka ia buruk dan salah. Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu adalah benar. Misalnya pengetahuan naik bus berhenti di posisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur kebenaran bukan dilihat karena bus berhenti di posisi kiri, namun penumpang bisa turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.
 
BAB III.
PENUTUP
              Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat mulai dari masalah ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Tiga cabang utama filsafat tersebut merupakan masalah yang paling fundamental dalam kehidupan. Ia memberikan sebuah kerangka berpikir yang sangat sistematis. Hal itu dikarenakan ketiganya merupakan proses berpikir yang diawali dengan pembahasan “Apa itu kebenaran?”, “Bagaimana mendapatkan kebenaran?”, dan “Untuk apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?”
            Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan tanpa peranan filsafat. Hal itu dikarenakan semua permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem filosofis. Hal tersebut harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada dasarnya semua ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga problem filosofis tersebut (ontologis, epistemologis dan aksiologis). Artinya semua ilmu pengetahuan pasti berbicara tentang apa yang menjadi objek kajiannya, bagaimana cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat kehidupan manusia.
  Sehingga, buah pemikiran tersebut dapat melahirkan peradaban besar. Perbedaan pendapat berkaitan dengan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi di kalangan filosof semata karena berdasarkan pada aliran filsafat yang mereka anut. Tetapi, semua itu harus kita apresiasi karena merupakan tahapan pencarian “kebenaran yang hakiki”.


DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin dkk, Filsafat Pendidikan (2013) Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Amri, Amsal. Studi Filsafat Pendidikan (2009): Banda Aceh : yayasan Pena
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah. 2008
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo. 2004
Kartanegara, Mulyadi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan. 2006
Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi. Buku Daras Filsafat Islam. Bandung: Mizan. 2003
Muslih Mohammad, filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis. Yogyakarta: Belukar, 2005
Surajiyo. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT Total Grafika
Indonesia. 2003





[1] Aholiab Wathloly, Tanggung jawab Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius 2011) hal, 157.
[2] . A. Dardiri, Humaniora, Filsafat, dan logika, (jakarta: Rajawali).
[3] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat, dan Pendidikan
[4]  Amsal bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet, 9, 2010) hal, 148.
[5]  Jalaluddin dan Abdullah idi, Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet 3 ,2013) hal, 79.
[6] Darwis A Soelaiman, Filsafat Umum (Banda Aceh , 1997) hal 61.
[7] Ibid, hal 64.
[8] Ibid (hal, 65).
[9] Ibid (hal 65).
[10] Ibid (hal 66).
[11] Ibid (hal 66).
[12] Ibid (hal 67).
[13] Ibid (hal 67).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar