BAB I
PENDAHULUAN
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar.
Apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena
itu, kegiatan berfikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar
itu atu kriteria kebenaranya. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria
kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan
tentang alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan tentang alam
fisik. Alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran bagi setiap jenis dan bidang
pengetahuan.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai
kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Problem kebenaran
inilah yang memicu tumbuh dan berkembangnya epistimelogi. Telaah epistimelogi
terhadap “kebenaran” membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa perlu
dibedakan adanya tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran epistimelogi, kebenaran
ontologis dan kebenaran semantis.[1]
Kebenaran epistimelogis adalah kebenaran yang berhubungan dengan
pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai
sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan.
Kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat
dalam tutur kata dan bahasa. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia
melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme,
rasionalisme, idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme,
strukturalisme, post-strukturalisme dan lain-lain.
Hal tersebut tidak lain merupakan upaya untuk menemukan “kebenaran”.
Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya (problem ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari “Apa itu kebenaran?” yaitu “Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan problem epistemologi. Selanjutnya, setelah kita mengetahui kebenaran dan cara untuk mendapatkannya, muncul pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pemikiran selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan pada tataran praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya apakah ilmu pengetahuan yang didapat itu bisa diterapkan untuk kemaslahatan umat atau justru sebaliknya, terutama kaitannya dengan moralitas.
Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya (problem ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari “Apa itu kebenaran?” yaitu “Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan problem epistemologi. Selanjutnya, setelah kita mengetahui kebenaran dan cara untuk mendapatkannya, muncul pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pemikiran selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan pada tataran praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya apakah ilmu pengetahuan yang didapat itu bisa diterapkan untuk kemaslahatan umat atau justru sebaliknya, terutama kaitannya dengan moralitas.
Singkatnya, wilayah ontologi bertanya tentang “apa” wilayah epistemologi
bertanya tentang “bagaimana” sedangkan, wilayah aksiologi bertanya tentang
“untuk apa”.
Tiga problem filosofis inilah ontologi, epistemologi dan aksiologi yang hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing aliran filsafat memiliki sudut pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga hal tersebut.
Tiga problem filosofis inilah ontologi, epistemologi dan aksiologi yang hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing aliran filsafat memiliki sudut pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga hal tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan)
yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan
cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara
metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu
sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka
filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu
sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang
ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan
cabang filsafat yang bersifat otonom. Dengan kata lain, pembahasan ontologi
biasanya diarahkan pada pendeskripsian tentang sifat dasar dari wujud, sebagai
kategori paling umum yang meliputi bukan hanya wujud Tuhan, tetapi juga
pembagian wujud.
Ontologi menurut Dardiri adalah
menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang
berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan dapat
dikatakan ada. [2].
Sedangkan pengertian Ontologi menurut
Jalaluddin dan Idi abdullah adalah teori dari cabang filsafat yang membahas
realitas. Realitas adalah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu
kebenaran[3].
Persoalan tentang ontologi ini
menjadi pembahasan utama di bidang filsafat, baik filsafaf kuno maupun modern.
Ontologi adalah cabang dari filsafat yang membahas realita. Realita adalah
kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran. Bedanya, realita
dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya
realita yang ada ini; apakah realita yang tampak ini suatu realitas materi
saja; adakah sesuatu di ballik realita itu, apakah realita ini terdiri dari
satu unsur (monoisme), dua unsur (dualisme) atau banyak (Pluralisme). Sementara
Epistemologi adalah cabang filasafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta
pertanggungjawaban atas peryataan mengenai pengetahuan yang dimiliki[4].
Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan
menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan.
Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari
pemeriksaan dan peneyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia[5]. Epistimelogi membahas
sumber, proses, syarat, batas fasilitas dan hakikat pengetahuan yang memberikan
kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada
murid-muridnya. Kita bisa mengatakan bahwa seseorang telah sukses dengan apa
yang telah mereka pelajari apabila mereka dapat menyatakan kembali apa yang
telah mereka peroleh di masa lalu. Epistemologi merupakan tahapan berikutnya
setelah pembahasan ontologi dalam filsafat[6].
Oleh sebab itu yang perlu dibahas berkaitan dengan masalah ini adalah
tentang teori pengetahuan dan metode ilmiah serta tema-tema yang berkaitan
dengan masalah epistemologi. Berbicara tentang asal-usul pengetahuan maka ilmu
pengetahuan ada yang berasal dari manusia dan dari luar manusia. Pengetahuan
yang berasal dari manusia meliputi pengetahuan indera, ilmu (akal) dan
filsafat. Sedangkan pengetahuan yang berasal dari luar manusia (berasal dari
Tuhan) adalah wahyu. Pembahasan epistemologi meliputi sumber-sumber atau teori
pengetahuan, kebenaran pengetahuan, batasan dan kemungkinan pengetahuan, serta
klasifikasi ilmu pengetahuan.
Istilah pengetahuan sesuatu berarti mengetahui sesuatu. Mengapa sesuatu itu
dapat dilakukan dengan perantaraan alat dria (pengalaman) dan dapat pula
dicapai dengan perantaraan akal fikiran akibatnya telah menimbulkan aliran
empirisme dan rationalisme. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang
sesuai dengan objek pengetahuan atau dengan apa yang dijadikan masalah. Sering
diartikan bahwa kebenaran itu ialah pengetahuan yang benar. Kebenaran dapat
dirumuskan sebagai persesuaian antara pengetahuan kita dengan objek pengetahuan[7]. Artinya apa yang kita ketahui itu ternyata
benar atau cocok dengan objeknya? Ini tergantung pada pendapat kita bentuk
kepada setiap pengetahuan yang kita peroleh itu selalu berbentuk pendapat yaitu
rangkaian-rangkaian pengetahuan yang mempunyai arti tertentu.
Sering kali kita berpendapat salah tentang sesuatu, karena itu bukan tidak
mungkin kita memperoleh pengetahuan yang tidak sesuai dengan objek. Seringkali
sesuatu yang kita pandang nyata lalu kita berpendapat sebagai sesuatu yang
benar. Lalu apa yang dimaksud dengan reality? Sebenarnya kalau kita berpikir
kritis dan radikal, maka arti reality itu tidaklah seperti yang kita maksudkan
sehari-hari, tetapi tergantung cara pandangan kita terhadap sesuatu. Jadi apa sesungguhnya yang dikatakan
kenyataan dan apa pula yang dimaksud dengan kebenaran? Apakah pengetahuan itu mengandung kebenaran?
Sesuatu pengetahuan haruslah mengandung kebenaran. Sehubungan dengan
kebenaran itu ada tiga macam teori yaitu:
1.
Teori Kesesuaian (Korespondensi).
2.
Teori Ketetapan (Koherensi atau konsistensi), dan
3.
Teori Pragmatika [8].
A.
Teori Kesesuaian (Corespondence Theory)
Menurut teori ini pengetahuan kita adalah benar apabila sesuai dengan
kenyataan. Pendukung teori ini berpendapat bahwa dunia diluar diri kita (objek)
tidak tergantung kepada kita (subjek). [9] Karena itu apabila
kesan-kesan kita tentang sesuatu sesuai dengan kenyataan yang ada diluar diri
kita, maka kita akan memperoleh kebenaran tentang sesuatu itu. Sesuai dengan
pendapat ini berarti bahwa kebenaran itu bersifat abadi tidak berubah dan tidak
temporal (tidak tergantung pada waktu).
Teori korespondensi biasanya dianut oleh para pengikut realisme, dan mereka
berpegang pada pendirian fakta-fakta. Dan teori ini yang diterima secara luas
oleh kelompok realis. Menurut paham ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada
realita objektif. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta
dan fakta itu sendiri.
Kebenaran teori korespondensi berdasarkan pengalaman inderawi sehingga ada atau tidak adanya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan.
Kebenaran teori korespondensi berdasarkan pengalaman inderawi sehingga ada atau tidak adanya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan.
B. Teori Koherensi (consistency
theory)
Menurut teori ini, manusia tidak pasti akan mencapai persesuaian antara
pengetahuannya dengan objek atau kenyataan[10]. Kita sering kali
mempunyai pendapat atau kesan ataupun reaksi-reaksi yang berbeda terhadap
sesuatu itu. Jika bersifat temporal. Demikian pula seringkali pendapat atau
kesan-kesan kita tentang sesuatu kenyataan tidak sesuai dengan kesan-kesan
orang lain (bersifat subjektif). Belum tentu apakah pendapat kita lebih benar
atau pendapat orang lain itu yang lebih benar. Karena itu menurut teori ini haruslah dicari kebenarannya itu dengan menggunakan
kriteria yaitu ada tidaknya ketetapan (consistency) antara pendapat-pendapat
atau kesan-kesan kita tentang suatu kenyataan itu.
Jadi pendapat-pendapat itu haruslah reliable
dan objective. Artinya kalau kita lakukan sesuatu eksperimen berkali-kali
maka hasilnya akan tetap sama (konsisten). Dan kalau dilakukan eksperimen itu
oleh beberapa orang dalam kondisi yang sama pula dan objektif. Jadi ada
konsistensi mengenai pendapat tentang sesuatu.
Teori pertama dan kedua tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi. Teori
pertama menitik beratkan kepada arti kebenaran itu, sedangkan teori kedua
menyatakan mengenai pengujian terhadap kebenaran yang transenden, artinya kebenaran itu terletak di luar jiwa kita, yang
melampaui batas-batas jiwa kita. Segala sesuatu tersusun menurut susunan yang
berdiri sendiri dan terletak di luar diri kita.
Terlepas dari subjek (manusia) yang mengetahui. Jadi kebenaran itu dijangkau
secara langsung (menghadapi kenyataan atau subjek). Pendukung teori ini adalah
kaum empiris atau realis. Immanen, yaitu
kebenaran yang terjadi dalam jiwa kita. Jadi kebenaran terhadap sesuatu
kenyataan (objek) itu dijangkau secara tidak langsung. Pendukung teori ini
adalah kaum rationalis atau idealis.[11]
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz,
Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of
Philosophy, teori koherensi dijelaskan “….suatu proposisi cenderung benar jika
proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi
lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling
berhubungan dengan pengalaman kita.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan, “si polan adalah manusia dan si polan pasti mati” adalah benar, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan, “si polan adalah manusia dan si polan pasti mati” adalah benar, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
C. Teori Kebenaran Pragmatis (Pragmatic Theory).
Teori ini didukung oleh kaum pragmatist atau instrumentalist, atau disebut
juga eksperimentalist, seperti yang dikembangkan oleh William James dan Jhon
Dewey di Amerika.[12] Menurut teori ini
kebenaran itu terletak pada hasil (akibat) yang dicapai dari praktek. Jadi
benar tidaknya sesuatu bergantung pada akibat dalam praktek. Apabila sesuatu
hasil dalam praktek ternyata benar, maka pendapat itu adalah benar.
Namun kebenaran itu tidaklah sempurna, tetapi selalu berkembang atau dalam
pembentukan. Kecaman terhadap teori ini sering dikemukakan adalah:
1.
Mengacaukan antara kebenaran dengan nilai (values).
2.
terlalu melihat kepada akibat[13]
Sesuatu pendapat dikatakan benar apabila akibatnya hasilnya benar.
Seharusnya karena sesuatu pendapat yang benar maka akan memberi akibat
pula. Perlu ditegaskan bahwa dalam
filsafat tidak ada satu jawaban yang benar terhadap suatu masalah, melainkan
sekurang-kurangnya ada dua jawaban yang benar.
Teori pragmatisme beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika secara
fungsional ia memberikan manfaat. Jadi ukurannya adalah hasil yang
didapatkannya. Jika hasilnya menguntungkan maka ia baik dan benar dan
sebaliknya jika hasilnya merugikan maka ia buruk dan salah. Kattsoff (1986)
menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah penganut pragmatisme
meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau proposisi
itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap
pengalaman, pernyataan itu adalah benar. Misalnya pengetahuan naik bus berhenti
di posisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun dengan
selamat. Jadi, mengukur kebenaran bukan dilihat karena bus berhenti di posisi
kiri, namun penumpang bisa turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.
BAB III.
PENUTUP
Dari uraian di atas
kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat mulai dari masalah
ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Tiga cabang utama filsafat tersebut
merupakan masalah yang paling fundamental dalam kehidupan. Ia memberikan sebuah
kerangka berpikir yang sangat sistematis. Hal itu dikarenakan ketiganya
merupakan proses berpikir yang diawali dengan pembahasan “Apa itu kebenaran?”,
“Bagaimana mendapatkan kebenaran?”, dan “Untuk apa kebenaran tersebut
(aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?”
Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan tanpa peranan filsafat. Hal itu dikarenakan semua permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem filosofis. Hal tersebut harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada dasarnya semua ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga problem filosofis tersebut (ontologis, epistemologis dan aksiologis). Artinya semua ilmu pengetahuan pasti berbicara tentang apa yang menjadi objek kajiannya, bagaimana cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat kehidupan manusia.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan tanpa peranan filsafat. Hal itu dikarenakan semua permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem filosofis. Hal tersebut harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada dasarnya semua ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga problem filosofis tersebut (ontologis, epistemologis dan aksiologis). Artinya semua ilmu pengetahuan pasti berbicara tentang apa yang menjadi objek kajiannya, bagaimana cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat kehidupan manusia.
Sehingga, buah pemikiran tersebut dapat
melahirkan peradaban besar. Perbedaan pendapat berkaitan dengan Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi di kalangan filosof semata karena berdasarkan pada
aliran filsafat yang mereka anut. Tetapi, semua itu harus kita apresiasi karena
merupakan tahapan pencarian “kebenaran yang hakiki”.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin dkk, Filsafat Pendidikan (2013) Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Amri, Amsal. Studi Filsafat Pendidikan (2009): Banda Aceh : yayasan Pena
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah. 2008
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo. 2004
Kartanegara, Mulyadi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul
Ihsan. 2006
Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi. Buku Daras Filsafat Islam. Bandung: Mizan. 2003
Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi. Buku Daras Filsafat Islam. Bandung: Mizan. 2003
Muslih Mohammad, filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis. Yogyakarta:
Belukar, 2005
Surajiyo. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
PT Total Grafika
Indonesia. 2003
Indonesia. 2003
[1] Aholiab
Wathloly, Tanggung jawab Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius 2011) hal, 157.
[2] . A.
Dardiri, Humaniora, Filsafat, dan logika, (jakarta: Rajawali).
[3]
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan
[4] Amsal bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, cet, 9, 2010) hal, 148.
[5] Jalaluddin dan Abdullah idi, Filsafat
Pendidikan, Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
cet 3 ,2013) hal, 79.
[6] Darwis A
Soelaiman, Filsafat Umum (Banda Aceh , 1997) hal 61.
[7] Ibid,
hal 64.
[8] Ibid
(hal, 65).
[9] Ibid
(hal 65).
[10] Ibid
(hal 66).
[11] Ibid
(hal 66).
[12] Ibid
(hal 67).
[13] Ibid
(hal 67).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar