Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada
manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas
kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan Risalah-Nya, juga memberitahu
hal yang telah lalu, kejadian-kejadian kontemporer dan berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar al-Qur’an pada
mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama
Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi
diantara mereka peristiwa khusus yang
memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka, kemudian mereka
bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam. Mengenai hal itu, maka Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau
untuk pertanyaan yang muncul tadi. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbâbun
nuzûl.
Sehingga, dalam
makalah yang penulis susun akan mengkaji beberapa hal yang sangat urgen,
diantaranya adalah pengertian Asbābun nuzûl, perdebatan sekitar signifikansi Asbābun
nuzûl, cara mengetahui Asbābun nuzûl, dan yang terakhir adalah hubungan
kontekstualitas Asbābun nuzûl.
A.
Pengertian Asbābun Nuzŭl
Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan malaikat jibril sebagai mukjizat dan
wahyu serta menjadi pedoman kehidupan bagi manusia. Mukjizat dalam kamus
besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah kejadian (peristiwa) ajaib yang
yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Sedangkan, Wahyu adalah
Petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui
mimpi dan sebagainya.
Turunnya ayat kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul adalah
pembuktian bahwa Allah sangat berkuasa atas seagala sesuatu, Keagungan dan
kekuasaan Allah yang dibuktikan dengan turunnya ayat-ayat kepada Nabi muhammad
sebagai peringatan, dan penjelasan-penjelasan yang langsung dari Allah SWT,
baik untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Nabi, juga
sebagai wahyu biasa. Peristiwa dan persoalan yang dihadapi Rasul itulah yang
disebut dengan Asbāb an-Nuzŭl.
Asbābun Nuzŭl terdiri dari
dua kata: Asbāb dan Nuzŭl. Asbāb merupakan bentuk jama’ dari
kata sababun yang artinya sebab-sebab, sedangkan Nuzŭl bentuk masdhar dari kata anzala
berarti turun. Asbābun Nuzŭl artinya sebab-sebab turun Al-qur’an yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad sebagai jawaban dan peristiwa yang dialami. Secara
istilah adalah suatu yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat atau beberapa
ayat, yang mengungkapkan suatu permasalahan dan menerangkan sesuatu pada saat terjadinya suatu peristiwa.[1]
Shubbi al-shalih mendifinisikan asbāb al-Nuzŭl sebagai sesuatu yang menjadi
sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang
menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang
diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.[2]
مـا نزلت الأية أو الأ يات بسببه متضـمنه له أو مجيـبـة عنـه أو
مبينـه لحكـمه زمن وقوعـه
Artinya: semua
yang disebabkan olehnya suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya,
atau memeberi jawaban terhadap pertanyaan, atau menerangkan hukumnya pada saat
terjadinya peristiwa.[3]
Al-Zarqani dan
Muhammad Bakr Ismail memberikan definisi sebagai berikut
مـا نزلت الأية أو الأ يات متحـد ثـة عنـه أو مبينـه لحكـمه ايـام
وقوعـه
Artinya: Terjadinya kasuistik
yang menyebabkan turunnya sebuah ayat atau lebih, dan ayat tersebut menceritakan
kembali kasus itu, atau menerangkan hukum disaat kasus itu berlangsung.[4]
Dari definisi
di atas dapat dipahami bahwa asbāb al-Nuzŭl merupakan penjelasan ayat yang lebih terperinci dan
mutlak, karena dalam penurunan ayat ada yang menerangkan dengan tujuan umum (muzmal), dan ada juga ayat-ayatnya secara khusus untuk
menjelaskan peristiwa-peristiwa yang dialami Nabi dan para sahabat pada saat
itu. Kehidupan para sahabat bersama Rasulullah SAW telah banyak menyaksikan peristiwa
sejarah, bahkan kadang terjadi peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan
hukum Allah, atau menghadapi masalah yang masih kabur bagi mereka, Kemudian
mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum islam dalam hal itu.
Maka Alqur’an turun untuk merespon peristiwa khusus tadi atau peristiwa yang
muncul tadi.[5]
Turunnya Al-Qur’an yang memiliki sebab adalah ketetapan Allah sebagai bukti
atas kekuasaannya bahwa tidak ada sedikitpun mampu menandinginya dan tidak ada
yang setara denga-Nya.
a. Menurut
pendapat Al-Bukhari ucapan sahabat masuk kedalam katagori musnad, sedang yang
lainnya tidak memasukkannya.[9]
b.
Penjelasan
mengenai asbābun nuzûl. Menurut Al-Hakim, di dalam kitab ‘Ulumul Hadits, apabila
seseorang sahabat, yang menyaksikan wahyu dan turunnya ayat-ayat al-Qur’an,
mengatakan bahwa ayat anu turun berkenaan dengan anu, dapatlah disimpulkan
bahwa, hadits itu musnad. Orang yang sependirian dengan nya adalah Ibnus Shalah[10]
c. Ibnu
Taymiyah berpendapat bahwa suatu hadits
kadang-kadang menuturkan maksud suatu ayat, yang justru dalam ayat itu sendiri
sudah jelas maksudnya. Hadits seperti ini menerangkan ayat tersebut, dan tidak
mengenai Asbābun nuzûlnya.[11]
d. Dalam
memahami Asbābun nuzûl harus dengan kehati-hatian karena ulama terkemuka
seperti Ibnu Sirin, ia pernah bertanya kepada ‘Ubaidah mengenai makan suatu
ayat al-Qur’an, ‘Ubaidah menjawab, “Bertakwalah kepada Allah, serta akuilah
dengan jujur bahwa orang yang mengetahui kapan diturunkannya ayat tersebut telah
berpulang (meninggal)”. Pernyataan semacam ini karena kekhawatirannya dalam
membuat-buat suatu pernytaan mengenai al-Qur’an.
b.
Signifikansi Ababun Nuzŭl
Dengan beberapa problematika yang menjadi bahan
perenungan mengenai perdebatan sekitar Asbābun nuzûl, maka diperlukannya alat
untuk mengidentifikasi, apakah sebuah ayat memiliki Asbābun nuzûlnya atau
tidak, akan penulis paparkan di pokok pembahasan cara mengetahui Asbābun Nuzŭl.
Berikut penulis rangkum beberapa Signifikansi Asbābun Nuzŭl:
1.
Mengetahui makna ayat dengan jelas.
2.
Memudahkan dalam menafsirkan ayat.
3.
Mengetahui hikmah dibalik syari’at
yang diturunkan melalui sebab tertentu.
4.
Mengetahui pelaku yang terlibat
dalam ayat al-Qur’an.
5. Mengetahui makna khusus atau umum
yang terkandung dalam ayat dan apakah itu bisa diterapkan.
6. Seseorang menegetahui bahwa Allah
selalu memberi perhatian penuh kepada Rasulullah dan selalu bersama para
hamba-Nya
7.
Memberikan pemahaman yang lebih
terperinci
Qaththan, misalnya merangkum pentingnya mengetahui asbāb al-Nuzŭl,
1. Mengetahui hikmah diundangkannya
suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam
menghadapi suatu peristiwa
2. Dapat membatasi hukum yang
diturunkan dengan sebab yang terjadi, apabila hukum itu dinyatakan dalam bentuk
pernyataan umum, ini bagi mereka yang berpedoman bahwa yang menjadi pegangan
adalah sebab yang khusus dan bukan lafaz yang umum
3.
Apabila lafaz yang diturunkan
berbentuk umum dan terdapat dalil atas pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai
asbāb al-Nuzŭl membatasi pengkhususan itu hanaya terhadap yang selain bentuk
sebab.
4. Mengetahui asabab al-Nuzŭl adalah
cara terbaik untuk memahami makna al-Qur’an dan menyingkap makna yang
tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui asbāb
al-Nuzŭl-nya
5. Sebab Nuzŭl menerangkan kepada siapa
ayat itu ditujukan sehingga tidak serta merta dapat ditujukan kepada orang lain[12]
Sebab turunnya suatau ayat, al-Wahidi menyatakan bahwa tidak
mungkin mengetahui tafsiran suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan penjelasan
turunnya ayat. Ibnu Daqiq al-‘Id juga menyatakan bahwa penjelasan asbābun nuzŭl
adalah salah satu jalan yang baik untuk memahami makna Al-Qur’an. Pendapat
senada juga diungkapkan Ibnu Taimiyah bahwa mengetahui asbābun nuzŭl akan
membantu seseorang memahami ayat, karena pengetahuan tentang sebab akan
melahirkan pengetahuan tentang akibat.[13]
Dalam sejarah dikemukakan bahwa para ulama salaf pernah mengalami
kesulitan dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, namun setelah mendapatkan asbābun
Nuzŭl ayat-ayat tersebut, mereka tidak lagi mengalami kesulitan dalam
menafsirkannya.[14]
Contoh hikmah mengetahui asbābun Nuzŭl,
Marwan Ibnu Hakam pernah kesulitan dalam memahami ayat 188 QS Ali
‘Imran yang berbunyi.
لَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ
يَفۡرَحُونَ بِمَآ أَتَواْ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحۡمَدُواْ بِمَا لَمۡ يَفۡعَلُواْ
فَلَا تَحۡسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٖ مِّنَ ٱلۡعَذَابِۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ ١٨٨
Artinya:”Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang
yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya
dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka
bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih”
Kemudian marwan memerintahkan kepada pembantunya: pergilah kepada
Ibn ‘Abbas dan katakan kepadanya, kalau saja setiap orang suka atas sesuatu
yang telah diperbuatnya serta suka dipuji atas sesuatu yang tidak diperbuatnya
itu disiksa, maka kita semua akan disiksa? Ibn ‘Abbas lalu menjelaskan maksud
ayat tersebut, tetapi orang suruhan marwan ini tetap saja belum paham. Kemudian
Ibn ‘Abbas berkata: sesungguhnya ayat ini turun kepada ahli kitab –Yahudi_
yakni mereka ditanya oleh Nabi SAW tentang sesuatu, mereka menyembunyikannya,
bahkan mereka mengatakan yang lain. Mereka merasa seolah-olah telah mengatakan
sesuatu kepada Nabi SAW, dan mereka mengharapkan pujian atas jawaban mereka
itu, maka turunlah ayat tersebut diatas (HR. Bukhari Muslim)
Urwan Ibn Zubair juga pernah kebingungan mengenai maksud firman
Allah surat al-Baqarah ayat 158 yaitu:
إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن
شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَاۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَإِنَّ ٱللَّهَ
شَاكِرٌ عَلِيمٌ ١٥٨
Artinya: “Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian
dari syi´ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau
ber´umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa´i antara keduanya.
Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka
sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”
Ayat diatas secara zahir memberikan penjelasan kepada kita bahwa makna
“Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber´umrah, maka
tidak ada dosa baginya mengerjakan sa´i antara keduanya”, merupakan
ketentuan Allah apabila dikerjakan atau tidak maka tidak berdosa, maka hukumnya
adalah Mubah dan pada dasarnya
bila ditinggalkan lebih berpahala, karna makna “maka tidak ada dosa
baginya mengerjakan sa´i antara keduanya” sai (lari-lari
kecil antara Shafa dan marwa) tidak wajib, bahakan sebelumnya
adalah berdosa. Namun bukan demikian makna ayat tersebut.
Sehingga ‘Urwah Ibn Zubair berkata kepada bibinya ‘Aisyah: wahai
bibi, sesungguhnya Allah berfirman, maka tiada mengapa ia berlari-lari
anatara keduanya. Menurut pendapatku tidak mengapa orang meninggalkan sa’i
anatara keduanya. ‘Aisyah menjawab: alangkah buruknya perkataanmu wahai
putra saudaraku. Kalau saja yang dikehendaki Allah itu seperti katamu, tentu
Dia akan mengatakan, “maka tiada mengapalah bahwa ia tidak berlari-lari
antara keduanya.
Kemudian ‘Aisyah bercerita kepadanya: pada jaman jahiliyah manusia sa’i
antara Shafa dan marwah menyengaja dua berhala, satau di shafa
namanaya Isafa dan yang satunya di marwah namanya Na’ilah.
Ketika orang-orang telah masuk islam, maka sebagian sahabat ada yang tidak mau
lagi bersa’i, karena takut ibadahnya itu serupa dengan ibadat orang-orang
jahiliyah. Kemudian turun ayat di atas untuk menolak anggapan berdosa itu dan
sekaligus mewajibkan merkea bersa’i karena Allah, bukan karwna berhala.
Demikianlah ‘Aisyah menolak pemahaman ‘Urwah ibnu Zubair. Itu bisa
dilakukankarena ia mengetahui asbābun Nuzŭl ayat tersebut.
C. Cara-cara mengetahui Asbāb al-Nuzŭl
Asbāb al Nuzûl sebagai suatu
peristiwa sejarah tentu memiliki problematika dalam mengungkapkan segala
peristiwa dan kejadian dari suatu sebab turunnya ayat Al-Qur’an. Tidak semua hadis tentang Asbāb al Nuzûl sanadnya muttasil, tetapi ada juga yang sanad periwayatannya
terputus, atau kisah-kisahnya kurang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Dalam menelaah Asbāb al Nuzûl suatu ayat, diperlukan ketelitian dalam rangka
mendapatkan data yang akurat dan valid.
Pengetahuan ihwal latar
belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, atau lebih khususnya “sebab-sebab
turunnya ayat Al-Qur’an (asbāb an-Nuzŭl)” mengetahui sebab maka akan
mempermudah untuk mengambil makna-makna yang terkandung dalam sebuah ayat,
serta kita akan terlepas dari keragu-raguan dalam menafsirkannya.
Ayat al-qur’an yang disampaikan kepada Nabi Muhammad merupakan salah satu
tanda ke-Nabian, bahwa
Muhammad adalah manusia biasa yang menerima amanah yang harus disampaikan.
Sebagian manusia pada masa itu tidak mempercayai muhammad sebagai utusan
sehinga merekapun berlaku kasar kepaadanya bahkan menuduh Muhammad sebagai
pembuat dan penyihir. Untuk menjawab tuduhan itu Allah mengirimkan wahyu
al-qur’an dalam tiga klasifikasi;
a.
Allah menurunkan ayat sebagai jawaban atas pertanyaan manusia kepadanya
b. Sebagai peristiwa yang sedang terjadi, kedua klasifikasi inilah yang
memiliki dasar asbābun nuzŭl, dan
c.
Sebagai wahyu biasa yang didalamnya tidak memiliki sebab-sebab
diturunkannya ayat.
a.
Pedoman Mengetahui Asbābun Nuzûl
Memberikan sebuah
pernyataan bahwa suatu ayat berkenaan dengan peristiwa atau persoalan-persoalan
yang dihadapi Nabi dan karena hal itu sebab turunnya ayat (Asbāb an-Nuzŭl) harus
penuh kehati-hatian untuk menyimpulkannya, setiap umat Islam wajib mengkaji
kembali tentang pendapat-pendapat yang diriwayatkan, apakah sahabat itu ada
pada jaman Rasul, dan sanadnya tersambung. Sehingga, untuk menafsirkan ayat yang memiliki
latar belakang sebab turunnya ayat Al-Qur’an, sangat membutuhkan ketelitian. Diantaranya adalah: mengetahui riwayat langsung dari orang yang
menyaksikan turunnya ayat, mengetahui sebab-sebabnya, serta diharuskan
mendalami ilmunya, seperti:
1.
Mengetahui
riwayat yang shahih dan langsung dari orang yang menyaksikan turunnya ayat.
2.
Mengetahui
hadist-hadist dalam kaitannya dengan asbāb an-Nuzŭl.
Dalam beberapa hal ditemui juga kesulitan, terutama
dalam mengambil kesimpulan, apakah keterangan sahabat dalam menceritakan
sesuatu peristiwa turunnya ayat dapat di katagorikan sebagai asbābun Nuzŭl atau
tidak. Untuk itu dibutuhkan perangkat petunjuk yang menerangkannya. Petunjuk
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
Pernyataan yang Tegas
a.
Sebuah riwayat
yang menyatakan dengan ungkapan yang sangat tegas, misalnya, seorang perawi
menyatakan sebab turun ayat ini adalah begini, atau sebab turun ayat ini adalah
seperti ini ((سبـب
النزول هـذه الأ يـة كـذا ungkapan ini bila terdapat dalam riwayat
sahabat, menunjukan bahwa asbābun nuzŭl itu sudah jelas dan tidak ada
kemungkinan mengandung makna lain.
b.
Merengkaikan ف “fa ta’qabliyah” sebelum kata
turunlah ayat, misalnya ucapan “maka turunlah ayat ini”. fa ta’qabliyah yang kira-kira bermakna
“maka” yang menunjukan urutan peristiwa yang dirangkaikan dengan turunnya ayat
sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan.[15]
Artinya dalam ayat tersebut tidak ada kata sebab. Asbābun Nuzŭl yang tidak disebutkan dengan lafaz سبـب
(sebab), tetapi hanya dengan mendatangkan lafaz ف (maka), yang masuk dalam ayat secara
langsung setelah pemaparan suatu peristiwa.--- فأ
نـزالله الأيـة--- (dari peristiwa ini maka Allah
menurunkan ayat ini).[16]
Ungkapan seperti itu juga mengandung ketegasan tentan sebab turunnya ayat.
2.
Asbābun Nuzŭl dipahami dari konteksnya.
Misalnya Rasulullah ditanya oleh sesorang tentang
suatu masalah, kemudian beliau diberi wahyu oleh Allah dan selanjutnya menjawab
pertanyaan itu dengan ayat yang baru diterimanya tersebut.
Misalnya, pertanyaan kepada Rasul mengenai sesuatu
yang belum ada ketetapanya dari Allah SWT.
Diriwayatkan dari Muawiyah bin Haidah, bahwa suatu
ketika seorang arab dusun datang menemui Rasulullah saw, dan bertanya kepadanya
prihal sifat Allah, “Apakah Allah itu dekat sehingga kami memohon kepada-Nya
dengan lirih ataukah Dia jauh lalu kami memohon kepada-Nya dengan berseru?”
lalu. Turunlah ayat ini
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ
ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ
يَرۡشُدُونَ.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”[17]
3.
Asbābun Nuzŭl yang mengandung Dua kemungkinan
Adanya pernyataan seperti ini, نزلـت هـذه الأيــة في كـذا “ayat ini turun mengenai ini” penjelasan seperti
ini boleh jadi menjelasakan Asbābun nuzûl atau boleh jadi hanya menjelaskan
hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. Az-Zarkasy dalam Al-Burhan menyebutkan
, “telah maklum dari kebiasaan para sahabat dan tabi’in bahwa apabila salah
seorang diantara mereka berkata; ‘ayat ini turun mengenai urusan ini,’ maka
yang dimaksud ialah ayat itu mengandung hukum urusan ini, bukan urusan ini yang
menjadi sebab penurunan ayat”[18].
Dalam ayat tersebut tidak mengandung kata سبـب
(sebab) serta, tidak mendatangkan ف (maka) yang
menunjukan sebab, dan tidak pula dengan jawaban yang dibangun atas dasar
pertanyaan kepada Nabi.
Periwayatan Asbābun nuzûl terkadang berbilang-bilang
tingkatannya, terkadang satu ayat, namun, lebih dari satu sebab. Ada juga satu
sebab, namun lebih dari satu ayat yang menjelaskannya. Maka untuk menalaah hal
seperti ini, perhatikanlah urain berikut:
a.
Apabila
ada riwayat itu shahih dan yang lain tidak sahih. Maka jalan keluar untuk
memcahkan masalah ini adalah menilik riwayat yang paling sahih.
Misalnya yang di tarjikh melalui jalur al-Bukhari dan muslim dari Jundab,
katanya: Nabi saw, mengadu kepada Allah SWT, selama satu atau dua malam, tak
beranjak dari tempatnya. Lalu ada seorang wanita datang, dan berkata: wahai
Muhammad, Aku yakin, setanmu pasti telah meninggalkanmu. Lalu Allah SWT,
menurunkan ayat:
وَٱلضُّحَىٰ ١ وَٱلَّيۡلِ إِذَا سَجَىٰ ٢ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا
قَلَىٰ ٣
“Demi
waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap),
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu”[19]
Namun ada juga riwayat yang lain, yaitu dari ath-Tabrani dan Ibn Abi
Syaibah mentakhrijh riwayat dari Hafsh Ibn Maisarah dari ibunya dari neneknya,
yang merupakan pelayan Rasulullah saw. Bahwa ada se ekor anak anjing yang di
bawah ranjang dan mati, kemudian selama empat hari tidak ada kunjung wahyu
turun, kemudian Nabi bersabda: Wahai Kaulah, apa yang terjadi dirumah ini,
jibril tidak mendatangiku?. Aku bergumam dalam hati. Seandainya engkau melihat
dibawah ranjang, dan menyapunya tentu engkau akan melihat sesuatu, kemudian aku
melihat ke bawah ranjang dan akupun menyapunya, setelah itu terlihat bergerak
jenggotnya, biasany kalau sudah bergerak jenggotnya Rasul, menandakan bahwa
akan turun wahyu, karena reaksi gemetar. Maka setelah itu, turunlah ayat di atas.
Diantara kedua riwayat tersebut, maka dapat dipastikan riwayat yang
paling sahih adalah yang pertama karena ada orang yang sudah dikenal dan
termasyhur, sedang pada riwayat kedua terdapat orang yang tidak dikenal.
b. Kedua
riwayat itu sama-sama shahih, tetapi yang satu ada dalil yang memperkuat
sedangkan yang lain tidak, maka tentu kita akan memilih dalil yang lebih kuat.
c. Kedua
riwayat itu sama-sama shahih namun tidak ditemukan dalil diantara keduanya.
Tetapi sangat mungkin untuk dikompromikan. Apabila kita mengambil dua riwayat
yang menerangkan sababiyah riwayat yang lebih rajih dan lebih
shahih. Sementara riwayat yang lain shahih tetapi marjuh, (dipandang
lebih lemah), maka yang diambil adalah yang rajih (kuat)[20]
d.
Kedua
riwayat itu sahih, namun, tidak terdapat dalil yang memperkuat salah satunya
dan kedua-duanya tidak mungkin dipakai. Misalnya, sebagian mufassir mengatakan:
ayat ini turun mengenai hal ini, juga tidak ada indikator yang menunjukan salah
satunya kepada makna Asbābun nuzûl, maka kedua riwayat ini dipahami sebagai
penjelasan hukum ayat yang bersangkutan, dan tak ada alasan sedikitpun, untuk
memahami salah satunya sebagai yang menunjukan makna sebab.[21]
Dalam hubungan
kontekstual sebab turunnya ayat, penulis merangkum beberapa bagian mengenai asbābun nuzûl ayat. Upaya kontekstualisasi
diharapkan dapat memberikan solusi terhadap problematika kehidupan. Dinamika modern yang ditandai dengan
kemajuan dalam berbagai bidang memunculkan banyak problem baru yang membutuhkan
pemecahan secara hukum. Dinamika ini tidak dapat dihindari dan menjadi tugas
kita untuk menyelesaikannya agar eksistensi Islam tidak tenggelam terbawa arus
zaman. Atas landasan ini, penulis susun dengan beberapa kontektualisasi ayat
yang terlebih dahulu menelaah dan memahami kajian historis turunnya ayat
tersebut. Diantaranya sebagai berikut:
QS Al Muddatsir: 1-2
يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمُدَّثِّرُ ١ قُمۡ فَأَنذِرۡ ٢
Wahai orang yang berselimut! Bangun, dan berilah peringatan.
Diriwayatkan
dari Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw, bersabda, “usai beruzlah selama sebulan
di Gua Hira, aku keluar dan turun. Tiba dilembah, satu suara memanggilku,
tetapi tak kulihat seorangpun di sana. Saat ku tengadahkan kepala ke langit,
aku melihat malaikat yang pernah mendatangiku di Gua Hira. Aku bergegas pulang
dan berkata, ‘selimutilah aku! Selimutilah aku’ketika itulah Allah menurunkan
kedua ayat itu”[22]
Misalnya
dalam riwayat yang lain yang ditakhrij oleh imam muslim dari jabir, katanya
kaum Yahudi mengatakan: siapa yang menyetubuhi istrinya dari arah belakang ke
dalam (qubulnya), maka anaknya akan juling (matanya). Lalu Allah SWT,
menurunkan firman-Nya:
نِسَآؤُكُمۡ حَرۡثٞ لَّكُمۡ فَأۡتُواْ حَرۡثَكُمۡ أَنَّىٰ شِئۡتُمۡۖ
وَقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّكُم مُّلَٰقُوهُۗ
وَبَشِّرِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ.
“Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu
kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”[23]
Juga
riwayat yang ditakhriz oleh imam Bukhari dari Jabir, mengenai ayat
نِسَآؤُكُمۡ حَرۡثٞ لَّكُمۡ.....
Diturunkan ayat ini berkenaan
masalah menyetubuhi istri melalui duburnya. Dalam suatu riwayat dikemukakan,
apabila mengauli istri dari belakang ke farjinya, maka anaknya akan lahir
bermata juling. Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS al-Baqarah : 223) Diriwayatkan
oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi, yang bersumber dari Jabir.[24]
2.
Bila Rasulullah Ditanya
Bayak
kaum muslim dan juga orang non-muslim bertanya kepada rasulullah saw, baik
dikalangan sahabat, keluaraga dan mereka yang samasekali belum memahami islam,
serta oarang yahudi dan nasrani, mereka mempertanyaakan kepada Rasulullah suatu
perkaram yang terkadang Nabi menunggu jawaban dari Allah SWT terlebih dahulu,
untuk memberikan pengasan tentang apa yang ditanyakan. Misalnya: tatkala
rasulullah ditanya mengenai Ruh? Rasulullah menunggu jawaban tentang itu maka
turunlah ayat QS Al- Isra’: 85
وَيَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِۖ قُلِ
ٱلرُّوحُ مِنۡ أَمۡرِ رَبِّي وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ إِلَّا قَلِيلٗا ٨٥
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit"[25]
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud, dia berkata “pernah suatu kali saya berjalan
bersama Rasulullah di Madinah. Kemudian, kami lewat di hadapan beberapa
kelompok dari kaum Quraisy. Sebagian mereka berkata-kata, ‘mengapa kalian tidak
bertanya sesuatu kepadanya?’ Kemudian, mereka bertanya, ceritakanlah kepada
kami tentang hakikat roh. ‘Rasulullah berdiri sebentar dan mengangkat
kepalanya. Aku mengetahui bahwa tengah turun wahyu kepadanya. Tatkala selesai
maka turunlah ayat tersebut (QS Al-Isra’: 85)”[26]
3.
Sebagai Wahyu Biasa
Dari beberapa referensi yang penulis temukan,
bahwasannya seluruh isi al-Qur’an mememiliki makna dan tujuan tertentu, karena
tidak mungkin satu ayat yang diturunkan oleh Allah tidak mengandung makna,
hanya saja ada sebagian ayat yang tidak mampu dejelaskan dengan tafsir apapun
melainkan hanya Allah yang mengetahui akan makna yang terkandung didalamnya.
Disebut ayat Mutasyabihat. Kemudian, ada juga ayat Muhkam, yaitu,
ayat yang sudah mengandung makna dan mudah untuk dipahami. Manna Al-Qaththan, “Muhkam
adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih hanyalah
diketahui maksudnya oleh Allah sendiri, atau
Muhkam adalah ayat yang mengandung banyak segi, sedang mutasyabih
mengandung banyak segi, atau muhkam adalah ayat yang dapat diketahui secara
langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih ia memerlukan
penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain”[27]
Sebagaimana Allah SWT berfirman:
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ ءَايَٰتٞ
مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ
فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ
ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا
ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ
عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٧
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran)
kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok
isi Al qur´an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian
ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta´wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta´wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal”[28]
Dengan demikian sebagai wahyu biasa keseluruhan
makna ayat memiliki kandungan yang sangat besar hikmahnya, diantaranya sebagai
mukjizat, untuk menolak kesangsian (galau), sebagai ilmu pengetahuan,
pedoman kehidupan, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh : Allah SWT, berfirman
ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢
ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا
رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang
beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian
rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”
Ayat diatas tidak ada sebab diturunkan,
namun memiliki makna yang sangat besar,
diantaranya ayat ini memberikan penjelasan mengenai pokok keimanan. terdapat dalam
Tafsir Ibnu Katsir; Ibnu Abbas berkata, {beriman} berarti membenarkan,
“Mu’ammar meriwayatkan, Az-Zuhri berkata, “iman berarti perbuatan.” Abu Ja’far
ar-Razi meriwayatkan dari Rabi bin Anas, kata {beriman}berarti takut.
Menurut Ibnu Jarir definisi yang tepat untuk kata {beriman} orang-orang
yang mengimani hal yang gaib,dengan perkataan, perbuatan, dan keyakinan.[29]
Dengan demikian ayat ini tidak ada sebab-sebab turunya melainkan sebagai wahyu
untuk menetapkan keimanan dan memberikan kisi-kisi kepada hal apa saja untuk
beriman.
1.
Asbābun Nuzŭl
adalah sebab-sebab turunnya ayat yang ditandai dengan sebuah peristiwa dan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadan Nabi Muhammad SAW.
2.
Keurgensian atau
signifikansi Asbābun Nuzŭl adalah sebagai berikut
a.
Mengetahui makna ayat dengan jelas.
b.
Memudahkan dalam menafsirkan ayat.
c.
Mengetahui hikmah dibalik syari’at
yang diturunkan melalui sebab tertentu.
d.
Mengetahui pelaku yang terlibat
dalam ayat al-Qur’an.
e. Mengetahui makna khusus atau umum
yang terkandung dalam ayat dan apakah itu bisa diterapkan.
f.
Seseorang menegetahui bahwa Allah
selalu memberi perhatian penuh kepada Rasulullah dan selalu bersama para
hamba-Nya
g.
Memberikan pemahaman yang lebih
terperinci
a. Sebuah riwayat yang menyatakan dengan ungkapan
yang sangat tegas, misalnya, seorang perawi menyatakan sebab turun ayat ini
adalah begini, atau sebab turun ayat ini adalah seperti ini ((سبـب النزول هـذه الأ يـة كـذا
ungkpan ini bila terdapat dalam riwayat sahabat, menunjukan bahwa asbābun
nuzŭl itu sudah jelas dan tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.
b. Merengkaikan ف “fa ta’qabliyah” sebelum kata
turunlah ayat, misalnya ucapan “maka turunlah ayat ini”. fa ta’qabliyah yang kira-kira bermakna
“maka” yang menunjukan urutan peristiwa yang dirangkaikan dengan turunnya ayat
sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan.[30]
Asbābun Nuzŭl yang tidak disebutkan
dengan lafaz سبـب
(sebab), tetapi hanya dengan mendatangkan lafaz ف (maka), yang masuk dalam ayat secara langsung
setelah pemaparan suatu peristiwa.--- فأ نـزالله الأيـة---
(dari peristiwa ini maka Allah menurunkan ayat ini).
4.
Hubungan
Kontekstualitas Asbābun Nuzŭl adalah:
a.
Bila adanya
sebuah peristiwa yang dialami Rasul
b.
Bila ada
pertanyaan yang diajukan, maka turunlah ayat sebagai wahyu untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajaukan
c. Sebagai wahyu
biasa, yang tidak memiliki sebab didalamnya.
DAFTAR
REFERENSI
Al-Qur’an
dan terjemahnya, Waqaf, Depok: SABIQ, 2009.
Al-Qaththan, Manna, Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an, terj. Aunur
Rafiq El-Mazni, pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006
Chirzin, Muhammad, Mengerti Asbābun Nuzŭl, Jakarata: Zaman,
2015
Drajat, Amroeni, Ulum Alquran, Pengantar Ilmu-Ilmu Alquran dalam,
ed, Jafar, Bandung: Citapustaka Media, 2014
Muhammad Chirzin, Mengerti Asbābun Nuzŭl, Jakarata, Zaman,
2015
RI, Kementerian Agama, Syamil Al-Qur’an Miracle The Reference, Bandung:
Sygma Publishing
Shaleh, dahlan, zaka alfarasi, Asbābun Nuzŭl Latar Belakang
Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran,
edisi kedua, Bandung: CV Penerbit Di Ponegoro, 2011
Zaini, Muhammad, Pengantar
‘ulumul Qur’an cetakan ketiga, Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh, 2012
Zein, Achyar, ‘Ulum Al-Qur’ān, Diktat, Medan:
2015
[1]Muhammad Zaini,
Pengantar ‘ulumul Qur’an cetakan ketiga, (Banda
Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh, 2012), 53
[2]Amroeni Drajat,
Ulum Alquran, Pengantar Ilmu-Ilmu Alquran dalam, ed, Jafar, (Bandung:
Citapustaka Media, 2014), 41
[3]Muhammad Zaini,
Pengantar ‘Ulumul Qur’an, (Banda Aceh: Yayasan PeNa, cetakan ketiga,
2014), 53
[5]Manna
Al-Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum
Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2006), 92
[6]Manna
Al-Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum
Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2006), 92-93
[7]Manna
Al-Qaththan, Pengantar Study, 93
[8]Shaleh, Asbabun
Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat-Ayat Al-Quran, edisi kedua (Bandung: CV Penerbit Di Ponegoro,
2011), 6
[9]Al-Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an, 107
[10] Shaleh, Asbabun
Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat-Ayat Al-Quran, edisi kedua (Bandung: CV Penerbit Di Ponegoro,
2011), 6
[11]Manna
Al-Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum
Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2006), 107; Shaleh, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, edisi kedua (Bandung:
CV Penerbit Di Ponegoro, 2011), 5.
[12]Amroeni Drajat,
Ulum Alquran, Pengantar Ilmu-Ilmu Alquran dalam, ed, Jafar, (Bandung:
Citapustaka Media, 2014), 43.
[13]Muhammad
Chirzin, Mengerti Asbabun Nuzul, (Jakarata: Zaman, 2015 ), 23
[14]Shaleh, Asbabun
Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat-Ayat Al-Quran, edisi kedua (Bandung: CV Penerbit Di Ponegoro,
2011), 5
[15]Amroeni Drajat,
Ulum Alquran, Pengantar Ilmu-Ilmu Alquran dalam, ed, Jafar, (Bandung:
Citapustaka Media, 2014), 42
[16]Muhammad Zaini,
Pengantar ‘ulumul Qur’an cetakan ketiga, (Banda
Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh, 2012), 57
[17]QS Al-Baqarah
(2): 186
[18]Manna
Al-Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum
Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2006),108
[19]QS Adh-Dhuha
(93): 1-3
[20]Muhammad Zaini,
Pengantar ‘ulumul Qur’an cetakan ketiga, (Banda
Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh, 2012), 59
[21]Manna
Al-Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum
Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2006), 123
[22]Kementerian
Agama RI, Syamil Al-Qur’an Miracle The Reference, (Bandung: Sygma
Publishing), 1148, Muhammad Chirzin, Mengerti Asbabun Nuzul, (Jakarata,
Zaman, 2015 ), 25
[23]QS Al-Baqarah
(2): 223
[24]Shaleh, Asbabun
Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat-Ayat Al-Quran, edisi kedua (Bandung: CV Penerbit Di Ponegoro,
2011), 74
[25]QS Al Isra’
(17): 85
[26]Kementerian
Agama RI, Syamil Al-Qur’an Miracle The Reference, (Bandung: Sygma
Publishing), 1148, Muhammad Chirzin, Mengerti Asbabun Nuzul, (Jakarata,
Zaman, 2015 ), 578
[27]Manna
Al-Qaththan, Mabahits Fi ‘Ulum
Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2006), 266
[28]QS Ali-‘Imran
(3): 7
[29]Kementerian
Agama RI, Syamil Al-Qur’an Miracle The Reference, (Bandung: Sygma
Publishing), 1148, Muhammad Chirzin, Mengerti Asbabun Nuzul, (Jakarata,
Zaman, 2015 ), 2
[30]Amroeni Drajat,
Ulum Alquran, Pengantar Ilmu-Ilmu Alquran dalam, ed, Jafar, (Bandung:
Citapustaka Media, 2014), 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar