Jumat, 26 April 2019

BAHAN EVALUASI PENGAJARAN



1. Pendahuluan

Salah satu kompetensi yang harus kuasai adalah evaluasi pembelajaran. Kompetensi ini sejalan dengan tugas dan tanggung jawab sebagai tenaga pendidik dalam pembelajaran, yaitu mengevaluasi pembelajaran termasuk di dalamnya melaksanakan penilaian proses dan hasil belajar. Hal ini sejalan dengan instrumen penilaian kemampuan tenaga pendidik dimana salah satu indikatornya adalah melakukan evaluasi pembelajaran. Banyak model yang dapat menggambarkan kompetensi dasar yang harus di kuasai Tenaga Pendidik. Hal ini menunjukkan bahwa pada semua model kompetensi tenaga pendidik selalu memberikan gambaran kemampuannya dalam mengevaluasi pembelajaran.  Berikut akan dijelaskan defenisi evaluasi lebih dalam.


A. Pengertian Evaluasi

Evaluasi adalah proses, mengukur, menilai dan mengambil keputusan. Hasil yang diperoleh dapat dijadikan balikan (feed-back) bagi guru dalam memperbaiki dan menyempurnakan program dan kegiatan pembelajaran. Di sekolah, Anda sering mendengar bahwa guru sering memberikan ulangan harian, ujian akhir semester, ujian blok, tagihan, tes tertulis, tes lisan, tes tindakan, dan sebagainya. Istilah-istilah ini pada dasarnya merupakan bagian dari sistem evaluasi itu sendiri. Berikut akan dijelaskan beberapa proses evaluasi.

 Apa itu tes ?

Istilah tes berasal dari bahasa latin “testum” yang berarti sebuah piring atau jambangan dari tanah liat. Istilah tes ini kemudian dipergunakan dalam lapangan psikologi dan selanjutnya hanya dibatasi sampai metode psikologi, yaitu suatu cara untuk menyelidiki seseorang. Penyelidikan tersebut dilakukan mulai dari pemberian suatu tugas kepada seseorang atau untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu. Sebagaimana dikemukakan Sax (1980 : 13) bahwa “a test may be defined as a task or series of task used to obtain systematic observations presumed to be representative of educational or psychological traits or attributes”. (tes dapat didefinisikan sebagai tugas atau serangkaian tugas yang digunakan untuk memperoleh pengamatan-pengamatan sistematis, yang dianggap mewakili ciri atau aribut pendidikan atau psikologis). Istilah tugas dapat berbentuk soal atau perintah/suruhan lain yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Hasil kuantitatif ataupun kualitatif dari pelaksanaan tugas itu digunakan untuk menarik simpulan-simpulan tertentu terhadap peserta didik.

Dengan demikian, tes pada hakikatnya adalah suatu alat yang berisi serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau soal-soal yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur suatu aspek perilaku tertentu. Artinya, fungsi tes adalah sebagai alat ukur. Dalam tes prestasi belajar, aspek perilaku yang hendak diukur adalah tingkat kemampuan peserta didik dalam menguasai materi pelajaran yang telah disampaikan.

Apa itu pengukuran ?

Ahman dan Glock dalam S.Hamid Hasan (1988:9) menjelaskan ‘in the last analysis measurement is only a part, although a very substansial part of evaluation. It provides information upon which an evaluation can be based… Educational measurement is the process that attempt to obtain a quantified representation of the degree to which a trait is possessed by a pupil’. (dalam analisis terakhir, pengukuran hanya merupakan bagian, yaitu bagian yang sangat substansial dari evaluasi. Pengukuran menyediakan informasi, di mana evaluasi dapat didasarkan.  Pengukuran pendidikan adalah proses yang berusaha untuk mendapatkan representasi secara kuantitatif tentang sejauh mana suatu ciri yang dimiliki oleh peserta didik). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Wiersma dan Jurs (1985), bahwa “technically, measurement is the assignment of numerals to objects or events according to rules that give numeral quantitative meaning”. (secara teknis, pengukuran adalah pengalihan dari angka ke objek atau peristiwa sesuai dengan aturan yang memberikan makna angka secara kuantitatif).
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa pengukuran adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas daripada sesuatu. Kata “sesuatu” bisa berarti peserta didik, guru, gedung sekolah, meja belajar, white board, dan sebagainya. Dalam proses pengukuran, tentu guru harus menggunakan alat ukur (tes atau non-tes). Alat ukur tersebut harus standar, yaitu memiliki derajat validitas dan reliabilitas yang tinggi. Dalam bidang pendidikan, psikologi, maupun variabel-variabel sosial lainnya, kegiatan pengukuran biasanya menggunakan tes. Dalam sejarah perkembangannya, aturan mengenai pemberian angka ini didasarkan pada teori pengukuran psikologi yang dinamakan psychometric. Namun demikian, boleh saja suatu kegiatan evaluasi dilakukan tanpa melalui proses pengukuran.


Apa itu penilaian ?

Istilah penilaian merupakan alih bahasa dari istilah assessment, bukan dari istilah evaluation. Dalam proses pembelajaran, penilaian sering dilakukan guru untuk memberikan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil yang telah dicapai peserta didik. Artinya, penilaian tidak hanya ditujukan pada penguasaan salah satu bidang tertentu saja, tetapi bersifat menyeluruh yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai. Sementara itu, Anthony J.Nitko (1996:4) menjelaskan “assessment is a broad term defined as a process for obtaining information that is used for making decisions about students, curricula and programs, and educational policy”. (penilaian adalah suatu proses untuk memperoleh informasi yang digunakan untuk membuat keputusan tentang peserta didik, kurikulum, program, dan kebijakan pendidikan).
Dalam hubungannya dengan proses dan hasil belajar, penilaian dapat didefinisikan sebagai suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan untuk mengumpulkan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta didik dalam rangka membuat keputusan-keputusan berdasarkan kriteria dan pertimbangan tertentu. Jika dilihat dalam konteks yang lebih luas, keputusan tersebut dapat menyangkut keputusan tentang peserta didik, keputusan tentang kurikulum dan program atau juga keputusan tentang kebijakan pendidikan.
Keputusan tentang peserta didik meliputi pengelolaan pembelajaran, penempatan peserta didik sesuai dengan jenjang atau jenis program pendidikan, bimbingan dan konseling, dan menyeleksi peserta didik untuk pendidikan lebih lanjut. Keputusan tentang kurikulum dan program meliputi keefektifan (summative evaluation) dan bagaimana cara memperbaikinya (formative evaluation). Keputusan tentang kebijakan pendidikan dapat dibuat pada tingkat lokal/daerah (kabupaten/kota), regional (provinsi), dan tingkat nasional.
Keputusan penilaian terhadap suatu hasil belajar sangat bermanfaat untuk membantu peserta didik merefleksikan apa yang mereka ketahui, bagaimana mereka belajar, dan mendorong tanggung jawab dalam belajar. Keputusan penilaian dapat dibuat oleh guru, sesama peserta didik (peer) atau oleh dirinya sendiri (self-assessment). Pengambilan keputusan perlu menggunakan pertimbangan yang berbeda-beda dan membandingkan hasil penilaian. Pengambilan keputusan harus dapat membimbing peserta didik untuk melakukan perbaikan hasil belajar.

Apa itu evaluasi ?
 Dari rumusan evaluasi ini, dapat kita peroleh gambaran bahwa evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) daripada sesuatu, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu untuk membuat suatu keputusan. Berdasarkan pengertian ini, ada beberapa hal yang perlu kita pahami lebih lanjut, yaitu :
1. Evaluasi adalah suatu proses bukan suatu hasil (produk).
Hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi adalah kualitas daripada sesuatu, baik yang menyangkut tentang nilai maupun arti. Sedangkan kegiatan untuk sampai kepada pemberian nilai dan arti itu adalah evaluasi. Jika Anda melakukan kajian tentang evaluasi, maka yang Anda lakukan adalah mempelajari bagaimana proses pemberian pertimbangan mengenai kualitas daripada sesuatu. Gambaran kualitas yang dimaksud merupakan konsekuensi logis dari proses evaluasi yang dilakukan. Proses tersebut tentu dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan, dalam arti terencana, sesuai dengan prosedur dan aturan, dan terus menerus.
2. Tujuan evaluasi adalah untuk menentukan kualitas daripada sesuatu, terutama yang berkenaan dengan nilai dan arti.
S. Hamid Hasan (1988:14) secara tegas membedakan kedua istilah tersebut sebagai berikut :
Pemberian nilai dilakukan apabila seorang evaluator memberikan pertimbangannya mengenai evaluasi tanpa menghubungkannya dengan sesuatu yang bersifat dari luar. Jadi pertimbangan yang diberikan sepenuhnya berdasarkan  evaluasi.
Sedangkan arti, berhubungan dengan posisi dan peranan evaluan dalam suatu konteks tertentu. Tentu saja kegiatan evaluasi yang komprehensif adalah yang meliputi baik proses pemberian keputusan tentang nilai dan proses keputusan tentang arti, tetapi hal ini tidak berarti bahwa suatu kegiatan evaluasi harus selalu meliputi keduanya. Pemberian nilai dan arti ini dalam bahasa yang dipergunakan Scriven (1967) adalah formatif dan sumatif. Jika formatif dan sumatif merupakan fungsi evaluasi, maka nilai dan arti adalah hasil kegiatan yang dilakukan oleh evaluasi.
3. Dalam proses evaluasi harus ada pemberian pertimbangan (judgement).
Pemberian pertimbangan ini pada dasarnya merupakan konsep dasar evaluasi. Melalui pertimbangan inilah ditentukan nilai dan arti (worth and merit) dari sesuatu yang sedang dievaluasi. Tanpa pemberian pertimbangan, suatu kegiatan bukanlah termasuk kategori kegiatan evaluasi.
4. Pemberian pertimbangan tentang nilai dan arti haruslah berdasarkan kriteria tertentu.
Tanpa kriteria yang jelas, pertimbangan nilai dan arti yang diberikan bukanlah suatu proses yang dapat diklasifikasikan sebagai evaluasi. Kriteria yang digunakan dapat saja berasal dari apa yang dievaluasi itu sendiri (internal), tetapi bisa juga berasal dari luar apa yang dievaluasi (eksternal), baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Jika yang dievaluasi itu adalah proses pembelajaran, maka kriteria yang dimaksud bisa saja dikembangkan dari karakteristik proses pembelajaran itu sendiri, tetapi dapat pula dikembangkan kriteria umum tentang proses pembelajaran. Kriteria ini penting dibuat oleh evaluator dengan pertimbangan (a) hasil evaluasi dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (b) evaluator lebih percaya diri (c) menghindari adanya unsur subjektifitas (d) memungkinkan hasil evaluasi akan sama sekalipun dilakukan pada waktu dan orang yang berbeda, dan (e) memberikan kemudahan bagi evaluator dalam melakukan penafsiran hasil evaluasi.
Kriteria sangat diperlukan untuk menentukan pencapaian indikator hasil belajar peserta didik yang sedang diukur. Dalam pengembangan kriteria untuk menentukan kualitas jawaban peserta didik, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, antara lain (a) kriteria harus meluas tetapi tidak memakan waktu, sehingga sulit dilaksanakan (b) dapat dipahami dengan jelas oleh peserta didik, orang tua dan guru (c) mencerminkan keadilan, dan (d) tidak merefleksikan variabel yang bias, latar belakang budaya, sosial-ekonomi, ras dan jender.
Berdasarkan rumusan pengertian tentang tes, pengukuran, penilaian dan evaluasi yang telah penulis kemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada jenis evaluasi atau penilaian yang mempergunakan tes secara intensif sebagai alat pengumpulan data, seperti penilaian hasil belajar. Walaupun dalam perkembangan terakhir tentang jenis evaluasi atau penilaian seperti ini menunjukkan bahwa tes bukan satu-satunya alat pengumpul data. Namun demikian harus diakui pula, bahwa tes merupakan alat pengumpul data evaluasi dan penilaian yang paling tua dan penting. Tes bukanlah evaluasi, bahkan bukan pula pengukuran. Tes lebih sempit ruang lingkupnya dibandingkan pengukuran, dan pengukuran lebih sempit dibandingkan evaluasi.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa tes dibangun berdasarkan teori pengukuran tertentu. Tanpa bantuan teori pengukuran, maka pembuatan tes dapat dikatakan tidak mungkin. Bagaimana Anda harus membuat pertanyaan-pertanyaan dalam suatu tes, bagaimana Anda ingin mengukur derajat validitas dan reliabilitas tes berdasarkan teori psychometric, mencerminkan peranan teori pengukuran yang sangat besar dan penting. Pengukuran dalam psikometrik tidak lagi merupakan bagian integral ataupun suatu langkah yang selalu harus ditempuh dalam kegiatan evaluasi. Pengukuran hanya merupakan salah satu langkah yang mungkin dipergunakan dalam kegiatan evaluasi.

Persamaan dan Perbedaan Evaluasi dengan Penilaian.
Persamaannya adalah keduanya mempunyai pengertian menilai atau menentukan nilai sesuatu. Di samping itu, alat yang digunakan untuk mengumpulkan datanya juga sama. Sedangkan perbedaannya terletak pada ruang lingkup (scope) dan pelaksanaannya. Ruang lingkup penilaian lebih sempit dan biasanya hanya terbatas pada salah satu komponen atau aspek saja, seperti prestasi belajar peserta didik. Pelaksanaan penilaian biasanya dilakukan dalam konteks internal, yakni orang-orang yang menjadi bagian atau terlibat dalam sistem pembelajaran yang bersangkutan. Misalnya, guru menilai prestasi belajar peserta didik, supervisor menilai kinerja guru, dan sebagainya. Ruang lingkup evaluasi lebih luas, mencakup semua komponen dalam suatu sistem (sistem pendidikan, sistem kurikulum, sistem pembelajaran) dan dapat dilakukan tidak hanya pihak internal (evaluasi internal) tetapi juga pihak eksternal (evaluasi eksternal), seperti konsultan mengevaluasi suatu program.
Evaluasi dan penilaian lebih bersifat komprehensif yang meliputi pengukuran, sedangkan tes merupakan salah satu alat (instrument) pengukuran. Pengukuran lebih membatasi kepada gambaran yang bersifat kuantitatif (angka-angka) tentang kemajuan belajar peserta didik (learning progress), sedangkan evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif. Di samping itu, evaluasi dan penilaian pada hakikatnya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan penilaian (value judgement) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran (quantitative description), tetapi dapat pula didasarkan kepada hasil pengamatan dan wawancara (qualitative description). Untuk lebih jelasnya, Anda dapat memperhatikan gambar berikut ini.
Dengan demikian, pengertian evaluasi pembelajaran adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis, berkelanjutan dan menyeluruh dalam rangka pengendalian, penjaminan dan penetapan kualitas (nilai dan arti) pembelajaran terhadap berbagai komponen pembelajaran, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu, sebagai bentuk pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan pembelajaran. Sedangkan penilaian hasil belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis, berkelanjutan dan menyeluruh dalam rangka pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menilai pencapaian proses dan hasil belajar peserta didik.
  
B.  Kedudukan Evaluasi Dalam Pembelajaran
Kata dasar “pembelajaran” adalah belajar. Dalam arti sempat pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses atau cara yang dilakukan agar seseorang dapat melakukan kegiatan belajar. Sedangkan belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku karena interaksi individu dengan lingkungan dan pengalaman. Perubahan tingkah laku tersebut bukan karena pengaruh obat-obatan atau zat kimia lainnya dan cenderung bersifat permanen. Istilah “pembelajaran” (instruction) berbeda dengan istilah “pengajaran” (teaching). Kata “pengajaran” lebih bersifat formal dan hanya ada di dalam konteks guru dengan peserta didik di kelas/madrasah, sedangkan kata “pembelajaran” tidak hanya ada dalam konteks guru dengan peserta didik di kelas secara formal, tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan belajar peserta didik di luar kelas yang mungkin saja tidak dihadiri oleh guru secara fisik.
Kata “pembelajaran” lebih menekankan pada kegiatan belajar peserta didik (child-centered) secara sungguh-sungguh yang melibatkan aspek intelektual, emosional, dan sosial, sedangkan kata “pengajaran” lebih cenderung pada kegiatan mengajar guru (teacher-centered) di kelas. Dengan demikian, kata “pembelajaran” ruang lingkupnya lebih luas daripada kata “pengajaran”. Dalam arti luas, pembelajaran adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan sistemik, yang bersifat interaktif dan komunikatif antara pendidik (guru) dengan peserta didik, sumber belajar dan lingkungan untuk menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan terjadinya tindakan belajar peserta didik, baik di kelas maupun di luar kelas, dihadiri guru secara fisik atau tidak, untuk menguasai kompetensi yang telah ditentukan.

Apa implikasi pengertian pembelajaran ini bagi Anda sebagai guru
1.  Pembelajaran adalah suatu program. Ciri suatu program adalah sistematik, sistemik, dan terencana. Sistematik artinya keteraturan. Anda harus dapat membuat program pembelajaran dengan urutan langkah-langkah tertentu, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi. Setiap langkah harus bersyarat, dimana langkah pertama merupakan syarat untuk masuk langkah kedua, dan seterusnya. Sistemik menunjukkan adanya suatu sistem. Anda harus memahami pembelajaran sebagai suatu sistem yang terdapat berbagai komponen, antara lain tujuan, materi, metoda, media, sumber belajar, evaluasi, peserta didik, lingkungan dan guru yang saling berhubungan dan ketergantungan satu sama lain serta berlangsung secara terencana. Anda juga harus dapat membuat rencana program pembelajaran dengan baik, artinya disusun melalui proses pemikiran yang matang. Hal ini penting, karena perencanaan program merupakan pedoman bagi guru dalam melaksanakannya pada situasi nyata.
2. Setelah pembelajaran berproses, tentu Anda perlu mengetahui keefektifan dan efisiensi semua komponen yang ada dalam proses pembelajaran. Untuk itu, Anda harus melakukan evaluasi pembelajaran. Begitu juga ketika peserta didik selesai mengikuti proses pembelajaran, tentu mereka ingin mengetahui sejauhmana hasil yang dicapai. Untuk itu, Anda harus melakukan penilaian hasil belajar. Dalam pembelajaran terdapat proses sebab-akibat. Guru yang mengajar merupakan penyebab utama atas terjadinya tindakan belajar peserta didik, meskipun tidak setiap tindakan belajar peserta didik merupakan akibat guru mengajar. Oleh karena itu, Anda sebagai “figur sentral”, harus mampu tindakan belajar peserta didik yang aktif, kreatif, efektif, produktif, efisien, dan menyenangkan.
3. Pembelajaran bersifat interaktif dan komunikatif. Interaktif artinya kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang bersifat multi arah dan saling mempengaruhi. Artinya, Anda harus berinterakasi dengan semua komponen pembelajaran, jangan didominasi oleh satu komponen saja. Nana Sy.Sukmadinata (2007 : 14) menekankan “interaksi ini bukan hanya pada tingkat apa dan bagaimana, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu pada tingkat mengapa, tingkat mencari makna, baik makna sosial (socially conscious) maupun makna pribadi (self-conscious)”. Sedangkan komunikatif dimaksudkan bahwa sifat komunikasi antara peserta didik dengan guru atau sebaliknya, sesama peserta didik, dan sesama guru harus dapat saling memberi dan menerima serta memahami. Anda dengan peserta didik harus dapat menggunakan bahasa yang baik dan benar, dalam arti menggunakan kosa kata yang sederhana, kalimat yang jelas dan efektif, intonasi yang baik, irama dan tempo bicara yang enak didengar. Anda juga harus menggunakan bahasa yang runtut, atraktif, mudah dipahami, dan dapat mengundang antusiasme peserta didik untuk menyimak materi pelajaran.
4. Dalam proses pembelajaran, Anda harus dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya kegiatan belajar peserta didik. Kondisi-kondisi yang dimaksud antara lain : memberi tugas, melakukan diskusi, tanya-jawab, mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat, termasuk melakukan evaluasi. Hal inilah yang dimaksudkan Stigging dalam Furqon (2001) bahwa “assessment as instruction”. Maksudnya, “assessment and teaching can be one and the same”. Anda juga harus banyak memberikan rangsangan (stimulus) kepada peserta didik, sehingga terjadi kegiatan belajar pada diri peserta didik.
5. Proses pembelajaran dimaksudkan agar guru dapat mencapai tujuan pembelajaran dan peserta didik dapat menguasai kompetensi yang telah ditetapkan. Tujuan atau kompetensi tersebut biasanya sudah dirancang dalam perencanaan pembelajaran yang berbentuk tujuan pembelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator. Untuk mengetahui hinggamana peserta didik mencapai tujuan pembelajaran atau menguasai kompetensi tertentu, maka Anda harus melakukan tindakan evaluasi.
Dalam proses pembelajaran, Anda akan mengatur seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran, mulai dari membuat disain pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, bertindak mengajar atau membelajarkan, melakukan evaluasi pembelajaran termasuk proses dan hasil belajar yang berupa “dampak pengajaran”. Peran peserta didik adalah bertindak belajar, yaitu

Prestasi Belajar
Kata “prestasi” berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie. Kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi “prestasi” yang berarti “hasil usaha”. Istilah “prestasi belajar” (achievment) berbeda dengan “hasil belajar” (learning outcome). Prestasi belajar pada umumnya berkenaan dengan aspek pengetahuan, sedangkan hasil belajar meliputi aspek pembentukan watak peserta didik. Kata prestasi banyak digunakan dalam berbagai bidang dan kegiatan antara lain dalam kesenian, olah raga, dan pendidikan, khususnya pembelajaran.
Prestasi belajar merupakan suatu masalah yang bersifat perenial dalam sejarah kehidupan manusia, karena sepanjang rentang kehidupannya manusia selalu mengejar prestasi menurut bidang dan kemampuan masing-masing. Prestasi belajar (achievement) semakin terasa penting untuk dibahas, karena mempunyai beberapa fungsi utama, antara lain :
1.  Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik.
2.  belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu. Para ahli psikologi biasanya menyebut hal ini sebagai “tendensi keingintahuan (couriosity) dan merupakan kebutuhan umum manusia”.
3. Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan. Asumsinya adalah prestasi belajar dapat dijadikan pendorong bagi peserta didik dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berperan sebagai umpan balik (feedback) dalam meningkatkan mutu pendidikan.
4.  Prestasi belajar sebagai indikator interen dan ekteren dari suatu institusi pendidikan. Indikator interen dalam arti bahwa prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat produktivitas suatu institusi pendidikan. Asumsinya adalah kurikulum yang digunakan relevan dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik. Indikator eksteren dalam arti bahwa tinggi rendahnya prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat kesuksesan peserta didik di masyarakat. Asumsinya adalah kurikulum yang digunakan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
5. Prestasi belajar dapat dijadikan indikator terhadap daya serap (kecerdasan) peserta didik. Dalam proses pembelajaran, peserta didik menjadi fokus utama yang harus diperhatikan, karena peserta didiklah yang diharapkan dapat menyerap seluruh materi pelajaran
Jika dilihat dari beberapa fungsi prestasi belajar di atas, maka betapa pentingnya Anda harus mengetahui dan memahami prestasi belajar peserta didik, baik secara perorangan maupun secara kelompok, sebab fungsi prestasi belajar tidak hanya sebagai indikator keberhasilan dalam mata pelajaran tertentu, tetapi juga sebagai indikator kualitas institusi pendidikan (Madrasah). Di samping itu, prestasi belajar juga bermanfaat sebagai umpan balik bagi Anda dalam melaksanakan proses pembelajaran, sehingga dapat menentukan apakah perlu melakukan diagnosis, penempatan, atau bimbingan terhadap peserta didik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Cronbach (1970 : 31), bahwa kegunaan prestasi belajar banyak ragamnya, antara lain “sebagai umpan balik bagi guru dalam mengajar, untuk keperluan diagnostik, untuk keperluan bimbingan dan penyuluhan, untuk keperluan seleksi, untuk keperluan penempatan atau penjurusan, untuk menentukan isi kurikulum, dan untuk menentukan kebijakan sekolah”.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa pembelajaran sebagai suatu sistem memiliki berbagai komponen yang saling berinteraksi, berinterelasi dan berinterdependensi. Salah satu komponen pembelajaran adalah evaluasi. Begitu juga dalam prosedur pembelajaran, dimana salah satu langkah yang harus ditempuh guru adalah evaluasi. Dengan demikian, dilihat dari berbagai konteks pembelajaran, evaluasi mempunyai kedudukan yang sangat penting dan strategis karena evaluasi merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari pembelajaran itu sendiri.
 SIMPULAN
Pada hakikatnya tes adalah serangkaian tugas yang harus dilakukan atau soal-soal yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur suatu aspek perilaku tertentu. Pengukuran adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas daripada sesuatu. Dalam proses pengukuran tentu harus menggunakan alat ukur. Alat ukur tersebut harus standar, yaitu memiliki derajat validitas dan reliabilitas yang tinggi. Penilaian adalah suatu proses atau kegiatan yang berkesinambungan untuk pengumpulan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta didik dalam rangka membuat keputusan-keputusan berdasarkan kriteria dan pertimbangan tertentu. Evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) daripada sesuatu, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka mengambil suatu keputusan.
Antara penilaian dan evaluasi sebenarnya memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keduanya mempunyai pengertian menilai atau menentukan nilai sesuatu. Di samping itu, alat yang digunakan untuk mengumpulkan datanya juga sama. Sedangkan perbedaannya terletak pada ruang lingkup (scope) dan pelaksanaannya. Evaluasi dan penilaian lebih bersifat komprehensif yang meliputi pengukuran, sedangkan tes merupakan salah satu alat (instrument) pengukuran. Pengukuran lebih membatasi kepada gambaran yang bersifat kuantitatif (angka-angka) tentang kemajuan belajar peserta didik (learning progress), sedangkan evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif.
Pembelajaran adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan sistemik, yang bersifat interaktif dan komunikatif antara pendidik (guru) dengan peserta didik, sumber belajar dan lingkungan untuk menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan terjadinya tindakan belajar peserta didik, baik di kelas maupun di luar kelas, dihadiri guru secara fisik atau tidak, untuk menguasai kompetensi yang telah ditentukan. Dalam proses pembelajaran, guru akan mengatur seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran, termasuk proses dan hasil belajar yang berupa “dampak pengajaran”. Peran peserta didik adalah bertindak belajar, yaitu mengalami proses belajar, mencapai hasil belajar, dan menggunakan hasil belajar yang digolongkan sebagai “dampak pengiring”.
Prestasi belajar mempunyai beberapa fungsi utama, antara lain sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik, sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu, sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan, sebagai indikator intern dan ektern dari suatu institusi pendidikan, dan sebagai indikator daya serap (kecerdasan) peserta didik.






 







ASBABUN NUZUL



1. PENDAHULUAN 
Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan Risalah-Nya, juga memberitahu hal yang telah lalu, kejadian-kejadian kontemporer dan  berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar al-Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka  peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka, kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam. Mengenai hal itu, maka Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul tadi. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbâbun nuzûl.
 Ilmu asbâbun nuzûl dalam studi ilmu al-Qur’an sangat diperlukan dalam mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, maka tidak mungkin terdapat di antara ayat al-Qur’an yang tidak diketahui hukumnya tanpa ilmu asbâbun nuzûl.
Sehingga, dalam makalah yang penulis susun akan mengkaji beberapa hal yang sangat urgen, diantaranya adalah pengertian Asbābun nuzûl, perdebatan sekitar signifikansi Asbābun nuzûl, cara mengetahui Asbābun nuzûl, dan yang terakhir adalah hubungan kontekstualitas Asbābun nuzûl.

2. KAJIAN PUSTAKA 
A.      Pengertian Asbābun Nuzŭl
Al-Qur’an adalah ­Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan malaikat jibril sebagai mukjizat dan wahyu serta menjadi pedoman kehidupan bagi manusia. Mukjizat dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah kejadian (peristiwa) ajaib yang yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Sedangkan, Wahyu adalah Petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi dan sebagainya.
Turunnya ayat kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul adalah pembuktian bahwa Allah sangat berkuasa atas seagala sesuatu, Keagungan dan kekuasaan Allah yang dibuktikan dengan turunnya ayat-ayat kepada Nabi muhammad sebagai peringatan, dan penjelasan-penjelasan yang langsung dari Allah SWT, baik untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Nabi, juga sebagai wahyu biasa. Peristiwa dan persoalan yang dihadapi Rasul itulah yang disebut dengan Asbāb an-Nuzŭl.
Asbābun Nuzŭl terdiri dari dua kata: Asbāb dan Nuzŭl. Asbāb merupakan bentuk jama’ dari kata sababun yang artinya sebab-sebab, sedangkan Nuzŭl bentuk masdhar dari kata anzala berarti turun. Asbābun Nuzŭl artinya sebab-sebab turun Al-qur’an yang disampaikan kepada Nabi Muhammad sebagai jawaban dan peristiwa yang dialami. Secara istilah adalah suatu yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat atau beberapa ayat, yang mengungkapkan suatu permasalahan dan menerangkan  sesuatu pada saat terjadinya suatu peristiwa.[1]
Shubbi al-shalih mendifinisikan asbāb al-Nuzŭl sebagai sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.[2]
مـا نزلت الأية أو الأ يات بسببه متضـمنه له أو مجيـبـة عنـه أو مبينـه لحكـمه زمن وقوعـه
Artinya: semua yang disebabkan olehnya suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, atau memeberi jawaban terhadap pertanyaan, atau menerangkan hukumnya pada saat terjadinya peristiwa.[3]
Al-Zarqani dan Muhammad Bakr Ismail memberikan definisi sebagai berikut
مـا نزلت الأية أو الأ يات متحـد ثـة عنـه أو مبينـه لحكـمه ايـام وقوعـه
Artinya: Terjadinya kasuistik yang menyebabkan turunnya sebuah ayat atau lebih, dan ayat tersebut menceritakan kembali kasus itu, atau menerangkan hukum disaat kasus itu berlangsung.[4]
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa asbāb al-Nuzŭl merupakan penjelasan ayat yang lebih terperinci dan mutlak, karena dalam penurunan ayat ada yang menerangkan dengan tujuan umum (muzmal),  dan ada juga ayat-ayatnya secara khusus untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa yang dialami Nabi dan para sahabat pada saat itu. Kehidupan para sahabat bersama Rasulullah  SAW telah banyak menyaksikan peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah, atau menghadapi masalah yang masih kabur bagi mereka, Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum islam dalam hal itu. Maka Alqur’an turun untuk merespon peristiwa khusus tadi atau peristiwa yang muncul tadi.[5] Turunnya Al-Qur’an yang memiliki sebab adalah ketetapan Allah sebagai bukti atas kekuasaannya bahwa tidak ada sedikitpun mampu menandinginya dan tidak ada yang setara denga-Nya. 
 B.        Perdebatan Sekitar Signifikansi Asbāb al-Nuzŭl
 Banyak ulama yang menganggap pentingnnya pengetahuan ikhwal ­asbāb nuzŭl ayat-ayat Al-Qur’an. Namun, ada juga yang menganggap tidak terlalu penting untuk mengetahui asbābun Nuzŭl. Berbagai usahapun telah mereka lakukan dalam meneliti dan mengumpulkan bahan-bahannya, mereka ini antara lain: imam al-Wahidi, Ibnu Daqiqil, Ibnu Taimiyah, al-Jabiri, Ibnu Hajar, as-Syuthi. Bahkan diantara ulama-ulama ada yang menaruh perhatiannya terhadapa keurgensian ­asbāb nuzŭl, sehingga ada yang mengambil spesialis dalam bidang ilmu ini. Yang terkenal diantaranya ialah Ali bin Al-Madini, guru Al-Bukhari, Al-Wihidi, dalam kitabnya Asbāb An-Nuzŭl, kemudian Al-Ja’bari yang meringkas kitab Al-Wahidi dengan menghilankan sanad-sanad yang ada didalamnya, tanpa menambah sesuatu.[6] Kemudian ada juga seperti Syaikhul Islam Ibnu Hajar, penulis kitab Asbāb An-Nuzŭl dan menurut pendapat As-Syuthi , ia hanya menemukan satu juz dari naskah kitab ini. Setelah itu barulah As-Syuthi melahirkan karya barunya yang berjudul Lubab al-Manqul Fi Asbāb An-Nuzŭl karya monumentalnya ia sebut “dalam hal ini, saya telah menulis satu kitab lengkap, singkat dan sangat baik dalam bidang ilmu ini yang belum ada satu kitab pun yang dapat menyamainya”[7]. As-Syuthi mengambil sumber-sumber yang didasarkan pada kitab-kitab yang muktamad dam muktabar, seperti: al-Kutubus Sittah, (Sahihu Bukhari, Sahihu Muslim, Sunanu Abi Dawud, Sunnatut Tirmidzi, Sunanun Nasa-i, dan Sunanun Majah), Al-Mustadrak (Imam Al-Hakim); Sahihubni Hiban, Sunanul Baihaqi, dll[8] dengan pengumpulan riwayat-riwayat inilah as-Syuthi menyebut buku nya yang sudah lengkap.

 a.        Perdebatan Mengenai Signifikansi Asbābun Nuzûl
 Ada bebarapa hal yang menjadi perbincangan yang serius dikalangan ulama mengenai pendapat para sahabat, misalnya ucapan sahabat megenai sebuah ayat “ayat ini turun mengenai urusan ini” terkadang dimaksudkan mengenai Asbābun nuzûl, dan terkadang dimaksudkan bahwa urusan itu termasuk kedalam cakupan ayat yang tidak memiliki Asbābun nuzûlnya, sehingga para ulama berbeda pendapat mengenai ucapan sahabat. Apakah  ucapan sahabat ada kaitannya dengan Asbābun nuzûl atau yang mereka katakan itu hanya sekedar memberikan tafsiran ayat! Diantaranya sebagai berikut:
a.    Menurut pendapat Al-Bukhari ucapan sahabat masuk kedalam katagori musnad, sedang yang lainnya tidak memasukkannya.[9]
b.        Penjelasan mengenai asbābun nuzûl. Menurut Al-Hakim, di dalam kitab ‘Ulumul Hadits, apabila seseorang sahabat, yang menyaksikan wahyu dan turunnya ayat-ayat al-Qur’an, mengatakan bahwa ayat anu turun berkenaan dengan anu, dapatlah disimpulkan bahwa, hadits itu musnad. Orang yang sependirian dengan nya adalah Ibnus Shalah[10]
c.      Ibnu Taymiyah  berpendapat bahwa suatu hadits kadang-kadang menuturkan maksud suatu ayat, yang justru dalam ayat itu sendiri sudah jelas maksudnya. Hadits seperti ini menerangkan ayat tersebut, dan tidak mengenai Asbābun nuzûlnya.[11]
d.    Dalam memahami Asbābun nuzûl harus dengan kehati-hatian karena ulama terkemuka seperti Ibnu Sirin, ia pernah bertanya kepada ‘Ubaidah mengenai makan suatu ayat al-Qur’an, ‘Ubaidah menjawab, “Bertakwalah kepada Allah, serta akuilah dengan jujur bahwa orang yang mengetahui kapan diturunkannya ayat tersebut telah berpulang (meninggal)”. Pernyataan semacam ini karena kekhawatirannya dalam membuat-buat suatu pernytaan mengenai al-Qur’an.

b.        Signifikansi Ababun Nuzŭl
Dengan beberapa problematika yang menjadi bahan perenungan mengenai perdebatan sekitar Asbābun nuzûl, maka diperlukannya alat untuk mengidentifikasi, apakah sebuah ayat memiliki Asbābun nuzûlnya atau tidak, akan penulis paparkan di pokok pembahasan cara mengetahui Asbābun Nuzŭl.
Berikut penulis rangkum beberapa Signifikansi Asbābun Nuzŭl:
1.        Mengetahui makna ayat dengan jelas.
2.        Memudahkan dalam menafsirkan ayat.
3.        Mengetahui hikmah dibalik syari’at yang diturunkan melalui sebab tertentu.
4.        Mengetahui pelaku yang terlibat dalam ayat al-Qur’an.
5.   Mengetahui makna khusus atau umum yang terkandung dalam ayat dan apakah itu bisa diterapkan.
6.     Seseorang menegetahui bahwa Allah selalu memberi perhatian penuh kepada Rasulullah dan selalu bersama para hamba-Nya
7.        Memberikan pemahaman yang lebih terperinci
Qaththan, misalnya merangkum pentingnya mengetahui asbāb al-Nuzŭl,
1.    Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi suatu peristiwa
2.  Dapat membatasi hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, apabila hukum itu dinyatakan dalam bentuk pernyataan umum, ini bagi mereka yang berpedoman bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus dan bukan lafaz yang umum
3.        Apabila lafaz yang diturunkan berbentuk umum dan terdapat dalil atas pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai asbāb al-Nuzŭl membatasi pengkhususan itu hanaya terhadap yang selain bentuk sebab.
4.  Mengetahui asabab al-Nuzŭl adalah cara terbaik untuk memahami makna al-Qur’an dan menyingkap makna yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui asbāb al-Nuzŭl-nya
5.   Sebab Nuzŭl menerangkan kepada siapa ayat itu ditujukan sehingga tidak serta merta dapat ditujukan kepada orang lain[12]

Sebab turunnya suatau ayat, al-Wahidi menyatakan bahwa tidak mungkin mengetahui tafsiran suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan penjelasan turunnya ayat. Ibnu Daqiq al-‘Id juga menyatakan bahwa penjelasan asbābun nuzŭl adalah salah satu jalan yang baik untuk memahami makna Al-Qur’an. Pendapat senada juga diungkapkan Ibnu Taimiyah bahwa mengetahui asbābun nuzŭl akan membantu seseorang memahami ayat, karena pengetahuan tentang sebab akan melahirkan pengetahuan tentang akibat.[13]
Dalam sejarah dikemukakan bahwa para ulama salaf pernah mengalami kesulitan dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, namun setelah mendapatkan asbābun Nuzŭl ayat-ayat tersebut, mereka tidak lagi mengalami kesulitan dalam menafsirkannya.[14]
Contoh hikmah mengetahui asbābun Nuzŭl,
Marwan Ibnu Hakam pernah kesulitan dalam memahami ayat 188 QS Ali ‘Imran yang berbunyi.
لَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَفۡرَحُونَ بِمَآ أَتَواْ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحۡمَدُواْ بِمَا لَمۡ يَفۡعَلُواْ فَلَا تَحۡسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٖ مِّنَ ٱلۡعَذَابِۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ ١٨٨
Artinya:”Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih”
Kemudian marwan memerintahkan kepada pembantunya: pergilah kepada Ibn ‘Abbas dan katakan kepadanya, kalau saja setiap orang suka atas sesuatu yang telah diperbuatnya serta suka dipuji atas sesuatu yang tidak diperbuatnya itu disiksa, maka kita semua akan disiksa? Ibn ‘Abbas lalu menjelaskan maksud ayat tersebut, tetapi orang suruhan marwan ini tetap saja belum paham. Kemudian Ibn ‘Abbas berkata: sesungguhnya ayat ini turun kepada ahli kitab –Yahudi_ yakni mereka ditanya oleh Nabi SAW tentang sesuatu, mereka menyembunyikannya, bahkan mereka mengatakan yang lain. Mereka merasa seolah-olah telah mengatakan sesuatu kepada Nabi SAW, dan mereka mengharapkan pujian atas jawaban mereka itu, maka turunlah ayat tersebut diatas (HR. Bukhari Muslim)
Urwan Ibn Zubair juga pernah kebingungan mengenai maksud firman Allah surat al-Baqarah ayat 158 yaitu:
إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَاۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ ١٥٨
Artinya: Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi´ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber´umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa´i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”
Ayat diatas secara zahir memberikan penjelasan kepada kita bahwa makna “Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber´umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa´i antara keduanya”, merupakan ketentuan Allah apabila dikerjakan atau tidak maka tidak berdosa, maka hukumnya adalah Mubah  dan pada dasarnya bila ditinggalkan lebih berpahala, karna makna “maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa´i antara keduanya” sai (lari-lari kecil antara Shafa dan marwa) tidak wajib, bahakan sebelumnya adalah berdosa. Namun bukan demikian makna ayat tersebut.
Sehingga ‘Urwah Ibn Zubair berkata kepada bibinya ‘Aisyah: wahai bibi, sesungguhnya Allah berfirman, maka tiada mengapa ia berlari-lari anatara keduanya. Menurut pendapatku tidak mengapa orang meninggalkan sa’i anatara keduanya. ‘Aisyah menjawab: alangkah buruknya perkataanmu wahai putra saudaraku. Kalau saja yang dikehendaki Allah itu seperti katamu, tentu Dia akan mengatakan, “maka tiada mengapalah bahwa ia tidak berlari-lari antara keduanya.
Kemudian ‘Aisyah bercerita kepadanya: pada jaman jahiliyah manusia sa’i antara Shafa dan marwah menyengaja dua berhala, satau di shafa namanaya Isafa dan yang satunya di marwah namanya Na’ilah. Ketika orang-orang telah masuk islam, maka sebagian sahabat ada yang tidak mau lagi bersa’i, karena takut ibadahnya itu serupa dengan ibadat orang-orang jahiliyah. Kemudian turun ayat di atas untuk menolak anggapan berdosa itu dan sekaligus mewajibkan merkea bersa’i karena Allah, bukan karwna berhala. Demikianlah ‘Aisyah menolak pemahaman ‘Urwah ibnu Zubair. Itu bisa dilakukankarena ia mengetahui asbābun Nuzŭl ayat tersebut.

C.      Cara-cara mengetahui Asbāb al-Nuzŭl
       Asbāb al Nuzûl sebagai suatu peristiwa sejarah tentu memiliki problematika dalam mengungkapkan segala peristiwa dan kejadian dari suatu sebab turunnya ayat Al-Qur’an. Tidak semua hadis tentang Asbāb al Nuzûl sanadnya muttasil, tetapi ada juga yang sanad periwayatannya terputus, atau kisah-kisahnya kurang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Dalam menelaah Asbāb al Nuzûl suatu ayat, diperlukan ketelitian dalam rangka mendapatkan data yang akurat dan valid.
       Pengetahuan ihwal latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, atau lebih khususnya “sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an (asbāb an-Nuzŭl)” mengetahui sebab maka akan mempermudah untuk mengambil makna-makna yang terkandung dalam sebuah ayat, serta kita akan terlepas dari keragu-raguan dalam menafsirkannya.         
Ayat al-qur’an yang disampaikan kepada Nabi Muhammad merupakan salah satu tanda ke-Nabian, bahwa Muhammad adalah manusia biasa yang menerima amanah yang harus disampaikan. Sebagian manusia pada masa itu tidak mempercayai muhammad sebagai utusan sehinga merekapun berlaku kasar kepaadanya bahkan menuduh Muhammad sebagai pembuat dan penyihir. Untuk menjawab tuduhan itu Allah mengirimkan wahyu al-qur’an dalam tiga klasifikasi;
a.        Allah menurunkan ayat sebagai jawaban atas pertanyaan manusia kepadanya
b.    Sebagai peristiwa yang sedang terjadi, kedua klasifikasi inilah yang memiliki dasar asbābun nuzŭl, dan
c.         Sebagai wahyu biasa yang didalamnya tidak memiliki sebab-sebab diturunkannya ayat.
  
a.        Pedoman Mengetahui Asbābun Nuzûl

Memberikan sebuah pernyataan bahwa suatu ayat berkenaan dengan peristiwa atau persoalan-persoalan yang dihadapi Nabi dan karena hal itu sebab turunnya ayat (Asbāb an-Nuzŭl) harus penuh kehati-hatian untuk menyimpulkannya, setiap umat Islam wajib mengkaji kembali tentang pendapat-pendapat yang diriwayatkan, apakah sahabat itu ada pada jaman Rasul, dan sanadnya tersambung. Sehingga, untuk menafsirkan ayat yang memiliki latar belakang sebab turunnya ayat Al-Qur’an, sangat membutuhkan ketelitian. Diantaranya adalah: mengetahui riwayat langsung dari orang yang menyaksikan turunnya ayat, mengetahui sebab-sebabnya, serta diharuskan mendalami ilmunya, seperti:
1.        Mengetahui riwayat yang shahih dan langsung dari orang yang menyaksikan turunnya ayat.
2.        Mengetahui hadist-hadist dalam kaitannya dengan asbāb an-Nuzŭl.
Dalam beberapa hal ditemui juga kesulitan, terutama dalam mengambil kesimpulan, apakah keterangan sahabat dalam menceritakan sesuatu peristiwa turunnya ayat dapat di katagorikan sebagai asbābun Nuzŭl atau tidak. Untuk itu dibutuhkan perangkat petunjuk yang menerangkannya. Petunjuk yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.        Pernyataan yang  Tegas
a.         Sebuah riwayat yang menyatakan dengan ungkapan yang sangat tegas, misalnya, seorang perawi menyatakan sebab turun ayat ini adalah begini, atau sebab turun ayat ini adalah seperti ini ((سبـب النزول هـذه الأ يـة كـذا ungkapan ini bila terdapat dalam riwayat sahabat, menunjukan bahwa asbābun nuzŭl itu sudah jelas dan tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.
b.        Merengkaikan  ف “fa ta’qabliyah” sebelum kata turunlah ayat, misalnya ucapan “maka turunlah ayat ini”.  fa ta’qabliyah yang kira-kira bermakna “maka” yang menunjukan urutan peristiwa yang dirangkaikan dengan turunnya ayat sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan.[15] Artinya dalam ayat tersebut tidak ada kata sebab. Asbābun  Nuzŭl yang tidak disebutkan dengan lafaz سبـب (sebab), tetapi hanya dengan mendatangkan lafaz ف  (maka), yang masuk dalam ayat secara langsung setelah pemaparan suatu peristiwa.---  فأ نـزالله الأيـة--- (dari peristiwa ini maka Allah menurunkan ayat ini).[16] Ungkapan seperti itu juga mengandung ketegasan tentan sebab turunnya ayat.

2.        Asbābun Nuzŭl dipahami dari konteksnya.
Misalnya Rasulullah ditanya oleh sesorang tentang suatu masalah, kemudian beliau diberi wahyu oleh Allah dan selanjutnya menjawab pertanyaan itu dengan ayat yang baru diterimanya tersebut.
Misalnya, pertanyaan kepada Rasul mengenai sesuatu yang belum ada ketetapanya dari Allah SWT.
Diriwayatkan dari Muawiyah bin Haidah, bahwa suatu ketika seorang arab dusun datang menemui Rasulullah saw, dan bertanya kepadanya prihal sifat Allah, “Apakah Allah itu dekat sehingga kami memohon kepada-Nya dengan lirih ataukah Dia jauh lalu kami memohon kepada-Nya dengan berseru?” lalu. Turunlah ayat ini
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”[17]

3.        Asbābun Nuzŭl yang mengandung Dua kemungkinan
Adanya pernyataan seperti ini, نزلـت هـذه الأيــة في كـذا “ayat ini turun mengenai ini” penjelasan seperti ini boleh jadi menjelasakan Asbābun nuzûl atau boleh jadi hanya menjelaskan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. Az-Zarkasy dalam Al-Burhan menyebutkan , “telah maklum dari kebiasaan para sahabat dan tabi’in bahwa apabila salah seorang diantara mereka berkata; ‘ayat ini turun mengenai urusan ini,’ maka yang dimaksud ialah ayat itu mengandung hukum urusan ini, bukan urusan ini yang menjadi sebab penurunan ayat”[18]. Dalam ayat tersebut tidak mengandung kata سبـب  (sebab) serta, tidak mendatangkan ف (maka) yang menunjukan sebab, dan tidak pula dengan jawaban yang dibangun atas dasar pertanyaan kepada Nabi.

 b.      Methode pengambilan Riwayat Asbābun Nuzûl
Periwayatan Asbābun nuzûl terkadang berbilang-bilang tingkatannya, terkadang satu ayat, namun, lebih dari satu sebab. Ada juga satu sebab, namun lebih dari satu ayat yang menjelaskannya. Maka untuk menalaah hal seperti ini, perhatikanlah urain berikut:
a.         Apabila ada riwayat itu shahih dan yang lain tidak sahih. Maka jalan keluar untuk memcahkan masalah ini adalah menilik riwayat yang paling sahih.
Misalnya yang di tarjikh melalui jalur al-Bukhari dan muslim dari Jundab, katanya: Nabi saw, mengadu kepada Allah SWT, selama satu atau dua malam, tak beranjak dari tempatnya. Lalu ada seorang wanita datang, dan berkata: wahai Muhammad, Aku yakin, setanmu pasti telah meninggalkanmu. Lalu Allah SWT, menurunkan ayat:
وَٱلضُّحَىٰ ١ وَٱلَّيۡلِ إِذَا سَجَىٰ ٢ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ ٣
“Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu”[19]
Namun ada juga riwayat yang lain, yaitu dari ath-Tabrani dan Ibn Abi Syaibah mentakhrijh riwayat dari Hafsh Ibn Maisarah dari ibunya dari neneknya, yang merupakan pelayan Rasulullah saw. Bahwa ada se ekor anak anjing yang di bawah ranjang dan mati, kemudian selama empat hari tidak ada kunjung wahyu turun, kemudian Nabi bersabda: Wahai Kaulah, apa yang terjadi dirumah ini, jibril tidak mendatangiku?. Aku bergumam dalam hati. Seandainya engkau melihat dibawah ranjang, dan menyapunya tentu engkau akan melihat sesuatu, kemudian aku melihat ke bawah ranjang dan akupun menyapunya, setelah itu terlihat bergerak jenggotnya, biasany kalau sudah bergerak jenggotnya Rasul, menandakan bahwa akan turun wahyu, karena reaksi gemetar. Maka setelah itu, turunlah ayat di atas.
Diantara kedua riwayat tersebut, maka dapat dipastikan riwayat yang paling sahih adalah yang pertama karena ada orang yang sudah dikenal dan termasyhur, sedang pada riwayat kedua terdapat orang yang tidak dikenal.

b.     Kedua riwayat itu sama-sama shahih, tetapi yang satu ada dalil yang memperkuat sedangkan yang lain tidak, maka tentu kita akan memilih dalil yang lebih kuat.
c.    Kedua riwayat itu sama-sama shahih namun tidak ditemukan dalil diantara keduanya. Tetapi sangat mungkin untuk dikompromikan. Apabila kita mengambil dua riwayat yang menerangkan sababiyah riwayat yang lebih rajih dan lebih shahih. Sementara riwayat yang lain shahih tetapi marjuh, (dipandang lebih lemah), maka yang diambil adalah yang rajih (kuat)[20]
d.        Kedua riwayat itu sahih, namun, tidak terdapat dalil yang memperkuat salah satunya dan kedua-duanya tidak mungkin dipakai. Misalnya, sebagian mufassir mengatakan: ayat ini turun mengenai hal ini, juga tidak ada indikator yang menunjukan salah satunya kepada makna Asbābun nuzûl, maka kedua riwayat ini dipahami sebagai penjelasan hukum ayat yang bersangkutan, dan tak ada alasan sedikitpun, untuk memahami salah satunya sebagai yang menunjukan makna sebab.[21]

 D.      Hubungan Kontektualitas dengan Asbāb al-Nuzŭl
Dalam hubungan kontekstual sebab turunnya ayat, penulis merangkum beberapa bagian mengenai asbābun nuzûl ayat. Upaya kontekstualisasi diharapkan dapat memberikan solusi terhadap problematika kehidupan. Dinamika modern yang ditandai dengan kemajuan dalam berbagai bidang memunculkan banyak problem baru yang membutuhkan pemecahan secara hukum. Dinamika ini tidak dapat dihindari dan menjadi tugas kita untuk menyelesaikannya agar eksistensi Islam tidak tenggelam terbawa arus zaman. Atas landasan ini, penulis susun dengan beberapa kontektualisasi ayat yang terlebih dahulu menelaah dan memahami kajian historis turunnya ayat tersebut. Diantaranya sebagai berikut:

 1.        Jika Terjadi Suatu Peristiwa:
QS Al Muddatsir: 1-2
يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمُدَّثِّرُ ١ قُمۡ فَأَنذِرۡ ٢
Wahai orang yang berselimut! Bangun, dan berilah peringatan.
Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw, bersabda, “usai beruzlah selama sebulan di Gua Hira, aku keluar dan turun. Tiba dilembah, satu suara memanggilku, tetapi tak kulihat seorangpun di sana. Saat ku tengadahkan kepala ke langit, aku melihat malaikat yang pernah mendatangiku di Gua Hira. Aku bergegas pulang dan berkata, ‘selimutilah aku! Selimutilah aku’ketika itulah Allah menurunkan kedua ayat itu”[22]
Misalnya dalam riwayat yang lain yang ditakhrij oleh imam muslim dari jabir, katanya kaum Yahudi mengatakan: siapa yang menyetubuhi istrinya dari arah belakang ke dalam (qubulnya), maka anaknya akan juling (matanya). Lalu Allah SWT, menurunkan firman-Nya:
نِسَآؤُكُمۡ حَرۡثٞ لَّكُمۡ فَأۡتُواْ حَرۡثَكُمۡ أَنَّىٰ شِئۡتُمۡۖ وَقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّكُم مُّلَٰقُوهُۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ.
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”[23]
Juga riwayat yang ditakhriz oleh imam Bukhari dari Jabir, mengenai ayat
نِسَآؤُكُمۡ حَرۡثٞ لَّكُمۡ.....
            Diturunkan ayat ini berkenaan masalah menyetubuhi istri melalui duburnya. Dalam suatu riwayat dikemukakan, apabila mengauli istri dari belakang ke farjinya, maka anaknya akan lahir bermata juling. Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS al-Baqarah : 223) Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi, yang bersumber dari Jabir.[24]


2.        Bila Rasulullah Ditanya
       Bayak kaum muslim dan juga orang non-muslim bertanya kepada rasulullah saw, baik dikalangan sahabat, keluaraga dan mereka yang samasekali belum memahami islam, serta oarang yahudi dan nasrani, mereka mempertanyaakan kepada Rasulullah suatu perkaram yang terkadang Nabi menunggu jawaban dari Allah SWT terlebih dahulu, untuk memberikan pengasan tentang apa yang ditanyakan. Misalnya: tatkala rasulullah ditanya mengenai Ruh? Rasulullah menunggu jawaban tentang itu maka turunlah ayat QS Al- Isra’: 85
وَيَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنۡ أَمۡرِ رَبِّي وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ إِلَّا قَلِيلٗا ٨٥
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit"[25]
       Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud, dia berkata “pernah suatu kali saya berjalan bersama Rasulullah di Madinah. Kemudian, kami lewat di hadapan beberapa kelompok dari kaum Quraisy. Sebagian mereka berkata-kata, ‘mengapa kalian tidak bertanya sesuatu kepadanya?’ Kemudian, mereka bertanya, ceritakanlah kepada kami tentang hakikat roh. ‘Rasulullah berdiri sebentar dan mengangkat kepalanya. Aku mengetahui bahwa tengah turun wahyu kepadanya. Tatkala selesai maka turunlah ayat tersebut (QS Al-Isra’: 85)”[26]
  
3.        Sebagai Wahyu Biasa
Dari beberapa referensi yang penulis temukan, bahwasannya seluruh isi al-Qur’an mememiliki makna dan tujuan tertentu, karena tidak mungkin satu ayat yang diturunkan oleh Allah tidak mengandung makna, hanya saja ada sebagian ayat yang tidak mampu dejelaskan dengan tafsir apapun melainkan hanya Allah yang mengetahui akan makna yang terkandung didalamnya. Disebut ayat Mutasyabihat. Kemudian, ada juga ayat Muhkam, yaitu, ayat yang sudah mengandung makna dan mudah untuk dipahami. Manna Al-Qaththan, “Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri, atau  Muhkam adalah ayat yang mengandung banyak segi, sedang mutasyabih mengandung banyak segi, atau muhkam adalah ayat yang dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain”[27] Sebagaimana Allah SWT berfirman:
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ ءَايَٰتٞ مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٧
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur´an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta´wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta´wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”[28]
Dengan demikian sebagai wahyu biasa keseluruhan makna ayat memiliki kandungan yang sangat besar hikmahnya, diantaranya sebagai mukjizat, untuk menolak kesangsian (galau), sebagai ilmu pengetahuan, pedoman kehidupan, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh : Allah SWT, berfirman
ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢ ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”
Ayat diatas tidak ada sebab diturunkan, namun memiliki  makna yang sangat besar, diantaranya ayat ini memberikan penjelasan mengenai pokok keimanan. terdapat dalam Tafsir Ibnu Katsir; Ibnu Abbas berkata, {beriman} berarti membenarkan, “Mu’ammar meriwayatkan, Az-Zuhri berkata, “iman berarti perbuatan.” Abu Ja’far ar-Razi meriwayatkan dari Rabi bin Anas, kata {beriman}berarti takut. Menurut Ibnu Jarir definisi yang tepat untuk kata {beriman} orang-orang yang mengimani hal yang gaib,dengan perkataan, perbuatan, dan keyakinan.[29] Dengan demikian ayat ini tidak ada sebab-sebab turunya melainkan sebagai wahyu untuk menetapkan keimanan dan memberikan kisi-kisi kepada hal apa saja untuk beriman.
 3. SIMPULAN
1.        Asbābun Nuzŭl adalah sebab-sebab turunnya ayat yang ditandai dengan sebuah peristiwa dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadan Nabi Muhammad SAW.
2.        Keurgensian atau signifikansi Asbābun Nuzŭl adalah sebagai berikut
a.       Mengetahui makna ayat dengan jelas.
b.      Memudahkan dalam menafsirkan ayat.
c.       Mengetahui hikmah dibalik syari’at yang diturunkan melalui sebab tertentu.
d.      Mengetahui pelaku yang terlibat dalam ayat al-Qur’an.
e.   Mengetahui makna khusus atau umum yang terkandung dalam ayat dan apakah itu bisa diterapkan.
f.        Seseorang menegetahui bahwa Allah selalu memberi perhatian penuh kepada Rasulullah dan selalu bersama para hamba-Nya
g.      Memberikan pemahaman yang lebih terperinci
 3.        Cara Mengetahui Asbābun Nuzŭl adalah sebagai berikut
a.  Sebuah riwayat yang menyatakan dengan ungkapan yang sangat tegas, misalnya, seorang perawi menyatakan sebab turun ayat ini adalah begini, atau sebab turun ayat ini adalah seperti ini ((سبـب النزول هـذه الأ يـة كـذا ungkpan ini bila terdapat dalam riwayat sahabat, menunjukan bahwa asbābun nuzŭl itu sudah jelas dan tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.
b.  Merengkaikan  ف “fa ta’qabliyah” sebelum kata turunlah ayat, misalnya ucapan “maka turunlah ayat ini”.  fa ta’qabliyah yang kira-kira bermakna “maka” yang menunjukan urutan peristiwa yang dirangkaikan dengan turunnya ayat sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan.[30] Asbābun  Nuzŭl yang tidak disebutkan dengan lafaz سبـب (sebab), tetapi hanya dengan mendatangkan lafaz ف  (maka), yang masuk dalam ayat secara langsung setelah pemaparan suatu peristiwa.---  فأ نـزالله الأيـة--- (dari peristiwa ini maka Allah menurunkan ayat ini).

4.        Hubungan Kontekstualitas Asbābun Nuzŭl adalah:
a.       Bila adanya sebuah peristiwa yang dialami Rasul
b.      Bila ada pertanyaan yang diajukan, maka turunlah ayat sebagai wahyu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajaukan
c.      Sebagai wahyu biasa, yang tidak memiliki sebab didalamnya.


DAFTAR REFERENSI

Al-Qur’an dan terjemahnya, Waqaf, Depok: SABIQ, 2009.

Al-Qaththan, Manna,  Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006

Chirzin, Muhammad, Mengerti Asbābun Nuzŭl, Jakarata: Zaman, 2015

Drajat, Amroeni, Ulum Alquran, Pengantar Ilmu-Ilmu Alquran dalam, ed, Jafar, Bandung: Citapustaka Media, 2014

Muhammad Chirzin, Mengerti Asbābun Nuzŭl, Jakarata, Zaman, 2015

RI, Kementerian Agama, Syamil Al-Qur’an Miracle The Reference, Bandung: Sygma Publishing

Shaleh, dahlan, zaka alfarasi, Asbābun Nuzŭl Latar Belakang Historis Turunnya  Ayat-Ayat Al-Quran, edisi kedua, Bandung: CV Penerbit Di Ponegoro, 2011

Zaini, Muhammad, Pengantar ‘ulumul Qur’an cetakan ketiga, Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh, 2012

Zein, Achyar, ‘Ulum Al-Qur’ān, Diktat, Medan: 2015



[1]Muhammad Zaini, Pengantar ‘ulumul Qur’an cetakan ketiga, (Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh, 2012), 53
[2]Amroeni Drajat, Ulum Alquran, Pengantar Ilmu-Ilmu Alquran dalam, ed, Jafar, (Bandung: Citapustaka Media, 2014), 41
[3]Muhammad Zaini, Pengantar ‘Ulumul Qur’an, (Banda Aceh: Yayasan PeNa, cetakan ketiga, 2014), 53
[4]Achyar Zein, ‘Ulum Al-Qur’ān, Diktat, (Medan: 2015), 27
[5]Manna Al-Qaththan,  Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 92
[6]Manna Al-Qaththan,  Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 92-93
[7]Manna Al-Qaththan, Pengantar Study, 93
[8]Shaleh, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya  Ayat-Ayat Al-Quran, edisi kedua (Bandung: CV Penerbit Di Ponegoro, 2011),  6
[9]Al-Qaththan,  Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an, 107
[10] Shaleh, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya  Ayat-Ayat Al-Quran, edisi kedua (Bandung: CV Penerbit Di Ponegoro, 2011), 6
[11]Manna Al-Qaththan,  Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 107; Shaleh, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya  Ayat-Ayat Al-Quran, edisi kedua (Bandung: CV Penerbit Di Ponegoro, 2011), 5.
[12]Amroeni Drajat, Ulum Alquran, Pengantar Ilmu-Ilmu Alquran dalam, ed, Jafar, (Bandung: Citapustaka Media, 2014), 43.
[13]Muhammad Chirzin, Mengerti Asbabun Nuzul, (Jakarata: Zaman, 2015 ), 23
[14]Shaleh, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya  Ayat-Ayat Al-Quran, edisi kedua (Bandung: CV Penerbit Di Ponegoro, 2011),  5
[15]Amroeni Drajat, Ulum Alquran, Pengantar Ilmu-Ilmu Alquran dalam, ed, Jafar, (Bandung: Citapustaka Media, 2014), 42
[16]Muhammad Zaini, Pengantar ‘ulumul Qur’an cetakan ketiga, (Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh, 2012), 57
[17]QS Al-Baqarah (2): 186
[18]Manna Al-Qaththan,  Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006),108
[19]QS Adh-Dhuha (93): 1-3
[20]Muhammad Zaini, Pengantar ‘ulumul Qur’an cetakan ketiga, (Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh, 2012), 59
[21]Manna Al-Qaththan,  Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 123
[22]Kementerian Agama RI, Syamil Al-Qur’an Miracle The Reference, (Bandung: Sygma Publishing), 1148, Muhammad Chirzin, Mengerti Asbabun Nuzul, (Jakarata, Zaman, 2015 ), 25
[23]QS Al-Baqarah (2): 223
[24]Shaleh, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya  Ayat-Ayat Al-Quran, edisi kedua (Bandung: CV Penerbit Di Ponegoro, 2011), 74
[25]QS Al Isra’ (17): 85
[26]Kementerian Agama RI, Syamil Al-Qur’an Miracle The Reference, (Bandung: Sygma Publishing), 1148, Muhammad Chirzin, Mengerti Asbabun Nuzul, (Jakarata, Zaman, 2015 ), 578
[27]Manna Al-Qaththan,  Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 266
[28]QS Ali-‘Imran (3): 7
[29]Kementerian Agama RI, Syamil Al-Qur’an Miracle The Reference, (Bandung: Sygma Publishing), 1148, Muhammad Chirzin, Mengerti Asbabun Nuzul, (Jakarata, Zaman, 2015 ), 2
[30]Amroeni Drajat, Ulum Alquran, Pengantar Ilmu-Ilmu Alquran dalam, ed, Jafar, (Bandung: Citapustaka Media, 2014), 42