KU INGIN GUTEL
BUATAN NENEK KU
Pelajaran hari ini telah selesai
sampai jumpa besok dan selamat istirahat kata guru ku.
Setelah bunyi bel 3 kali pertanda waktu
pulang. Seperti biasa setiap malam
minggu aku dan keluargaku pergi ke rumah nenek yang berada di dekat Bener
Meriah.
“Assalamu’alaikum nek..” salam kami kepada
nenek dengan semangat.
“Wa’alaikumsalam Ipak” nenek menjawab sambil tersenyum hangat.
Nenek tinggal bersama paman bibik ku yang juga
adalah adik ayahku. Bibik hanya tinggal sendiri karena suaminya telah meninggal
dunia setelah terserang penyakit jantung beberapa tahun yang lalu, sehingga nenek
mengajak bibik tinggal bersama dirumah nenek. Dia sudah berumur sekitar 68
tahun. Anak-anak nenek semuanya sudah berkeluarga dan kakek juga sudah meninggal
10 tahun yang lalu. Meskipun sudah tua
nenek mengisi Kesehariannya dengan menanam sayuran di kebun samping rumahnya. Biasanya ketika kami datang kerumah nenek,
beliau sedang menjemur kacang merah yang telah di panen.
“Nek, aku bantu jemur kacang merahnya ya…”
cetusku.
“Ya ipak, tapi hati-hati ya….” jawab nenek.
“Beres nek, serahkan semua ke Ina, semua pasti
beres..” jawabku seraya bercanda.
Selesai menjemur kacang merah aku dan kakakku
duduk-duduk di teras depan rumah nenek. Nenek sering bercerita kalau kami datang
kerumahnya dan aku senang sekali mendengar cerita nya. Apalagi tentang makanan
khas daerah Gayo. Nenek sering membuat
dan bercerita tentang makanan khas Gayo yang
saat ini sudah hampir dilupakan. Walaupun nenek sering bercerita, aku tidak
pernah bosan mendengarnya, justru semakin sering aku mendengar cerita nenek,
aku semakin takjub pada ceritanya.
Hari ini kami tidak hanya mendengarkan
cerita tentang makanan khas Gayo tapi nenek pun menunjukkan salah satu makanan
khas Gayo Namanya Gutel, yang baru
saja dibuatnya. Sambil menunjukkan Gutel,
nenek juga menjelaskan kepada kami bagaimana cara membuat Gutel.
“Ipak,
Gutel adalah salah satu kue khas
daerah Gayo, yang menjadi ciri khasnya adalah selalu dikepal dan dibungkus
dengan daun yang biasa digunakan untuk membalut kedua kepalan Gutel dan namanya “ olong ongkal”. Sekarang Gutel sudah banyak dibuat tidak lagi dua
kepalan sekali bungkus, tapi hanya satu, dan itu juga tidak lagi dibungkus
dengan “olong ni ongkal” tapi
dibungkus dengan daun pandan, dan ciri-ciri khas dari Gutel itu sudah mulai hilang, ujar nenek dengan mata berkaca-kaca.
“iya nek”, ujar ku, guru kami juga pernah menceritakan tentang makanan
khas Gayo nek, katanya Gayo kaya dengan makanannya. Salah
satunya Gutel Gayo yang menjadi makanan
khas dataran tinggi tanah Gayo. Nah, guru
kami juga bilang ciri khas Gutel Gayo
terletak pada bahan, bentuk dan modelnya nek” cerita Mahara panjang lebar
sampai nafasnya terengah-engah.
Nenek tersenyum dan kembali melanjutkan
ceritanya.
“Benar Mahara. Kamu pasti siswa yang baik karena
selalu mendengarkan penjelasan dari guru” puji nenek pada mahara”.
“Oia nek, sebenarnya apa sich bahan Gutel Gayo itu nek?” tanyaku.
“Bahan dasarnya tepung beras yang sudah
ditumbuk, kelapa parut, garam, gula putih, ataupun merah, Gutel ini dianggap dapat memberikan kekenyangan dan tahan lama. Disamping
itu juga gampang membuatnya” jelas nenek dengan sabar.
Mahara nampaknya belum puas dengan penjelasan
nenek, dia pun bertanya lagi pada nenek.
“Nek, kalau bentuknya nggak lonjong boleh ngga nek?” tanya
Mahara sambil megang Kue Gutel yang
dibuat nenek. Belum sempat menjawab pertanyaan yang satu, Mahara sudah bertanya
lagi tentang yang lain.
Nenek hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala
mendengar pertanyaan Mahara.
“Ini coba diperhatikan ya Ipak”. Bentuk Gutel memang dari zaman memang sudah
demikian modelnya, kalau ngga lonjong, itu Namanya bukan Gutel, tapi” Engkul” ipak”. Jawab nenek. “Engkul” juga salah satu makanan khas gayo yang hampir sama dengan Gutel, hanya saja bedanya kalau Gutel di buat dengan dikepal, tapi
Engkul Tidak, bahan juga sama dengan Gutel, ujar nenek
Mata Mahara pun terus mengikuti arah gerak
telunjuk nenek tanpa berkedip mendengar penjelasan nenek. Ngga terasa malam
semakin larut. Kamipun pamit pulang kerumah.
Hari Senin pagi guru pun masuk ke kelas. Sebelum
pelajaran di mulai akupun memberanikan diri untuk bertanya tentang makanan khas Gayo yang belum sempat aku tanyakan pada
nenek.
“boleh bertanya, bu?”
“Ya Mahara, mau tanya apa?”
“Begini bu, tadi nenek cerita tentang makanan
khas Gayo. Tapi, masih ada satu pertanyaan yang lupa saya tanyakan, nenek katakan
kalau Gayo itu punya banyak makanan khas, terutama kue khas Gayo. Selain Gutel apalagi makanan khas Gayo, yang
saat ini masih di ingat dan di minati orang bu?”. Dan kalau pun masih banyak,
apakah rasa, model dan bentuknya masih sama ya bu? Terus apa orang zaman now masih suka masakan yang zaman old tersebut?” ujarku dengan polosnya. “Begini Mahara, memang makanan khas Gayo
memiliki banyak model. Nah, model-model itu sudah banyak yang dimodifikasi
menjadi bentuk-bentuk model baru tanpa menghilangkan kaidah bentuk yang asli
seperti halnya modelnya. Biasanya Gutel
dibuat dengan cara dikepal, dan dibungkus dua kepal dengan daun yang khas,
sedangkan sekarang ada yang hanya satu kepal dan dibungkus dengan daun pandan.
Masih banyak yang minat, sehingga pengrajin membuat modifikasi-modifikasi dalam
bentuk lain....” jelas bu guru. Dan masih banyak lagi makanan khas Gayo lama
selain Gutel masih di minati yang di jual di
pasar seperti “Cucur, Lepat, Apam, dan Brahrum. Jelas bu Rianti.
“Oo..gitu ya bu..”
“Iyaa.. Mahara”.
“Sudah bu, terima kasih penjelasannya ya bu..”
“Iya sama-sama Mahara..”
Lalu kami melanjutkan pelajaran Bahasa
Inggris. Judul materinya Procedure Text.
Procedure text adalah sebuah text
yang menjelaskan tentang bagaimana cara membuat sesuatu dalam Bahasa Inggris,
Bu Rianti langsung mengkaitkan pertanyaan saya tentang makanan khas Gayo dengan
materi hari ini, judulnya “How to make
Gutel” Ibu Rianti menjelaskan apa saja bahan yang digunakan, dan
menjelaskan bagaimana cara membuat Gutel dalam
Bahasa Inggris. Kami senang sekali
karena ibu Rianti mengajar sesuai dengan keadaan di sekitar kami, jadi kami bisa
cepat tanggap dengan apa yang beliau jelaskan. Hingga tanpa terasa waktu sudah
menunjukkan pukul 13.30, bel pulang pun
berbunyi..”Teeettt..teeettt..teeettt..teeettt..”.
Siswa-siswi
pun keluar dari ruang kelas. Sebelum pulang aku masih teringat tentang Gutel Gayo yang nenek buat kemarin, rasanya sangat enak.
Akhirnya kuputuskan untuk pergi lagi menemui nenek dan meminta nya untuk
mengajari aku bagaimana cara membuat Gutel
Gayo itu.
“Neneeekk..nenek..” teriakku sambil
berlari-lari kecil.
“ Ko ke oya Ipak, ?” tanya nenek.
“Nek, boleh ngga nenek ajari aku buat Gutel Gayo ..” rayuku pada nenek.
Nenek hanya tersenyum keheranan melihat
tingkahku, yang dengan sedikit memaksa. Nenek heran karena jarang ada anak-anak
yang suka makanan khas Gayo yang sudah lama, tapi aku malah pingin belajar
bagaimana cara buat Gutel.
“Kamu boleh belajar Mahara, tapi dengan satu
syarat..” kata-kata nenek yang membuat aku terkejut. “Apa nek? Apa syaratnya nek?”
tanyaku penasaran.
“ ajarkan ke siapa saja yang ingin belajar
bagaimana cara buat Gutel ini”. Mera ke kam?” tanya nenek.
“Mau neekk…” aku pun tersenyum lebar.
“Kamu juga harus belajar makanan khas lain
selain Gutel, biar makanan kita tetap
di kenal orang” pinta nenekku.
“Iya nek, terimakasih ya nek? Aku janji akan
mewujudkan mimpi nenek” jawab ku dengan penuh haru. Panas matahari pun tidak
terasa lagi karena ilmu yang ku dapatkan dari nenek, karena aku ngga perlu lagi
nyuruh nenek buat Gutel, karena aku akan mencoba buat sendiri dan
mengantarkannya kerumah nenek, mudah-mudahan nenek bisa senang dengan Gutel
buatanku, ujar ku dalam hati. Setelah
sampai dirumah, kuceritakan ke ibuku kalau aku diajari bagaimana cara mebuat Gutel oleh nenek dan ingin membuat
sendiri Gutel itu. lalu ku minta ibu
menemani untuk membeli bahan-bahan untuk
membuat Gutel, dan ibuku juga tidak
keberatan
Sungguh enak Gutel yang ku buat dan sungguh beruntungnya aku bias membuatnya.
Setelah ku buat, akupun langsung mengantarkannya kerumah nenek, dengan rasa tidak sabaran untuk di nilai oleh
nenek masakan Gutel ku. Setibanya di
rumah nenek akupun memberikan hasil masakan ku untuk di cicipi oleh nenek,
dengan bangga nenek memelukku dan bilang “ sedep di ipak”.
Akupun tersenyum bangga dengan hasil masakanku
yang telah kudapatkan ilmunya dari nenek ku. Haripun telah sore aku pamit
pulang.
Sore ini aku tidak sempat menulis di diaryku.
Selain membantu ibuku aku juga harus mengerjakan PR yang diberikan oleh guru ku
hari ini. Saat malam tiba sepulang ngaji aku dengan semangat yang membara giat
belajar tutorial membuat makanan khas gayo di internet. Ibuku juga jago masak,
kalaupun aku salah membuat adonan makanan khas Gayo, ibu terus selalu mengajari
ku, kata ibuku, beliau juga belajar dari nenek yang jago masak. Malam itu aku
terlelap tidur hingga adzan subuh membangunkanku, aku langsung mengambil wudhu
dan pergi ke masjid untuk shalat subuh berjamaah. Sepulang dari mesjid aku
mandi dan siap-siap berangkat ke sekolah, di sekolah pasti aku datang lebih
awal dibandingkan dengan teman-temanku yang lain. Jarak rumahku dengan sekolah
sekitar 1 kilometer dan memerlukan waktu sekitar 30 menit kalau pulang jalan
kaki.
Matahari pagi menemani langkahku menuju
sekolah pagi ini. Mentari pagi menemani perjalananku sampai di sekolah. Masih beberapa menit di sekolah aku dikejutkan
dengan kehadiran ayah yang menjemputku ke sekolah, wali kelas memanggilku
kekantor, tanpa banyak kata-kata ayah memelukku erat di depan beberapa guru di
kantor itu. Ayah ku menangis, dan semakin erat beliau memelukku. Aku semakin
heran dengan tingkah ayahku dan bertanya “Ada apa ayah?”. “Kenapa ayah menangis?”. Ayah semakin
memelukku dan membisikkan di telingaku “Nenek Mahara meninggal”. Aku berteriak
histeris mendengar kabar kalau nenek ku sudah meninggal, aku sangat dengan
nenek, aku adalah cucu kesayangan nenek, air mataku begitu deras keluar, aku
teringat tentang cerita nenek tentang makanan khas Gayo, tentang resep membuat
makanan khas Gayo, dan pesan terakhirnya agar aku bisa mengajarkannya kepada
orag-orang yang mau belajar, dengan harapan makanan kha situ akan tetap ada dan
ngga akan pernah dilupakan.
Ternyata benar, sampai di rumah nenek aku
melihat nenek yang sudah diterbujur kaku, dan di kelilingi oleh orang banyak
yang sedang membaca surat yasin untuk nenek berkali-kali, aku langsung masuk
dan menangis tersedu-sedu. “Maafkan mahara nek, aku belum sempat minta maaf ke
nenek, terimakasih karena nenek telah mengajari ku bagaimana cara membuat
masakan khas Gayo yang nenek sukai, aku akan menepati janji ku pada nenek” aku
berbicara dengan terisak-isak. Sebuah tepukan dipundakku menyadarkan ku, dan
dia adalah ibu ku, ibu memintaku mengambil wudhu dan mengaji yasin untuk nenek
ku. Ibu ku memintaku untuk bersabar dan berdoa mudah-mudahan nenek ku diberikan
tempat yang layak di sisinya. Air mata yang tadinya sudah berhenti, kini
mengalir deras lagi. Terlihat orang-orang sudah membawa jenazah nenek ke
kuburan. Aku ikut mengantarkan nenek ke tempat peristirahatan yang terakhir.
Semua orang sudah pulang, tinggal aku
sendiri termangu di samping kubur nenek. Aku masih tidak percaya kalau nenek
sudah tidak ada. Kakak-kakak ku membujukku untuk pulang bersamanya. Tapi aku
bilang aku masih ingin disini. Setelah sekitar satu jam, ibu menjemputku. Dia
membujukku untuk pulang bersamanya. Akhirnya akupun mengikuti ibu dengan air
mata yang tetap berlinang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar